1. Seberapa besar peranan kurs
valuta asing berpengaruh pada Perekonomian Indonesia.?
PENGERTIAN KURS
VALUTA ASING
Valuta
Asing adalah pertukaran mata uang suatu negara terhadap negara lainnya,
sedangkan Kurs adalah jumlah satuan mata uang yang harus diserahkan untuk
mendapatkan satuan mata uang asing. Jadi, KURS VALUTA ASING adalah nilai
pertukaran mata uang suatu negara terhadap mata uang ainnya.
PENENTUAN KURS
VALUTA ASING
Pada dasarnya ada tiga sistem atau
cara untuk menentukan tinggi-rendahnya kurs atau nilai tukar valuta asing:
Kurs Tetap; karena dikaitkan dengan
emas sebagai standard atau patokannya.
Kurs Bebas; yang dibentuk oleh
permintaan dan penawaran valuta asing di pasaran bebas, lepas dari kaitan
dengan emas. Dalam hal ini kurs naik-turun denagn bebas. Dewasa ini orang
bicara tentang kurs mengambang (floating rates)
Kurs dibuat Stabil; berdasarkan
perjanjian internasional yaitu ditetapkan oleh pemerintah/bank sentral dalam
perbandingan tertentu dengan dollar atau emas sebagai patokan.
Perubahan nilai kurs valuta asing
umumnya berupa:
Apresiasi atau depresiasi; yaitu
naik atau turunnya nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang asing yang
sepenuhnya tergantung pada kekuatan pasar (permintaan dan penawaran valuta
asing) baik dalam negeri maupun luar negeri.
Devaluasi atau revaluasi;yaitu naik
atau turunnya nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang asing dipengaruhi
oleh kebijakan pemerintah. Turunnya nilai mata uang suatu negara terhadap mata
uang asing yang terjadi harian (depresiasi) sebenarnya mempunyai pengertian
sebagaimana devaluasi, tetapi karena perubahan tersebut sangat kecil maka tidak
dirsakan sebagai devaluasi. Yang dianggap devaluasi adalah penurunan nilai mata
uang suatu negara terhadap uang asing yang dinyatakan secara resmi oleh
pemerintah, dilakukan karena secara mendadak, dan adanya perbedaan selisih kurs
yang besar antara sebelum dan sesudah devaluasi. Hal ini berlaku bjiga untuk
apresiasi dan revaluasi.
PIHAK PIHAK
YANG MEMBUTUHKAN VALUTA ASING
·
Oraang Indonesiayang akan berkunjung ke luar negeri
·
Orang Indonesia yang membiayai anggota keluarganya yang tinggal di luar
negeri
·
Para importir Indonesia yang
hendak membayar harga barang yang dibeli dari luar negeri
·
Para investor Indonesia yang
akan membayar kewajiban-kewajibannya kepada orang di luar negeri
·
Pemerintah/orang-orang
Indonesia
yang akan membayar utang atau bunga ke luar negeri
·
Perusahaan-perusahaan
asing di Indonesia
yang akan membayar dividen kepada para pemegang saham di luar negeri
·
Pedagang valas yang
ingin berspekulasi terkait dengan naik turunnya nilai valuta asing untuk
mendapatkan keuntungan.
FUNGSI PASAR
TERHADAP KURS VALUTA ASING
·
Mentransfer daya beli
·
Memudahkan transaksi perdagangan internasional
·
Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menghindari naik turunnya
kurs valuta asing
·
Memperluas lapangan
pekerjaan
Dari pembahasan di atas, kesimpulannya adalah peran
valuta asing terhadap perekonomian di Indonesia sangatlah penting. Karena valuta asing
merupakan alat pembayaran antar Negara. Barang dan jasa yang di impor itu harus dibaya. Untuk
pembayaran itu diperlukan valuta asing atau devisa, yaitu valuta yang mau
diterima oleh dunia internacional. Devisa itu kita peroles dari hasil ekspor
atau kredit bank luar negeri.
SUMBER :
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/valuta-asing-dan-kurs-valuta-asing.html
http://www.mudrajad.com/upload/journal_analisis-kurs-valas-box-jenkins.pdf
http://astrirhianti93.blogspot.com/2011/04/peran-kurs-valutang-asing-terhadap.html
2. Bagaimana kebijaksanaan
Perekonomian Indonesia selama:
a.
Perekonomian Indonesia pada Periode 1966 – 1969
b.
Periode Pelita I
c.
Periode Pelita II
d.
Periode Pelita III
e.
Periode Pelita IV
f.
Periode Pelita V
a.
Perekonomian Indonesia pada
Periode 1966 – 1969
Kebijaksanaan perekonomian Indonesia
selama periode 1966 – 1969 ini adalah pembersihan proses-proses kebijakan orde
lama yang tidak efisien dan efektif terutama dari faham-faham komunisme.
Titik berat
pada periode 1966-1969:
Penurunan tingkat inflasi
Proses produksi yang tidak efektif dan efisien
Penggunaan pendapatan yang lebih efektif dan efisien
untuk menunjang proses pembangunan
Kebijakan
perekonomian Indonesia
selama periode 1966 – 1969
Rencana pembangunan nasional semesta berencana (PNSB)
1961-1969 ini disusun berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat dengan azas ekonomi terpimpin.
Faktor yang
menghambat atau kelemahannya antara lain:
1) Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah
ekonomi yang lazim. Defisit anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan
hyper inflasi.
2) Kondisi ekonomi dan politik saat itu: dari
dunia luar (Barat) Indonesia
sudah terkucilkan karena sikapnya yang konfrontatif.
3) Sementara di dalam negeri pemerintah
selalu mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi”
(Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian
Kompas, 1982).
Beberapa
kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
1) Dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia
dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis
dan perkembangan perekonomian Indonesia.
2) Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden
Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan pada tanggal 22 Mei
1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di bidang perdagangan dan
kepegawaian.
3) Pokok perhatian diberikan pada aspek
perbankan, namun nampaknya perhatian ini diberikan dalam rangka penguasaan
wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak dengan adanya
dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).
b.
Periode Pelita I
Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal
pembangunan Orde Baru.
• Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
• Sasaran
Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
• Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan
untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang
pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil
pertanian. Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada
tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke
Indonesia.
Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut
Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang
Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan
pembakaran barang-barang buatan Jepang.
c.
Periode Pelita II
Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Menitikberatkan pada sektor pertanian, dengan meningkatkan industri yang
mengelola bahan mentah menjadi bahan baku
(misal: karet, minyak, kayu, timah). Sasaran yang hendak di capai pada masa ini
adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas lapangan kerja. Fokus pembangunan ini di fokuskan pada
pengkreditan untuk mendorong eksportir kecil dan menengah serta mendorong pengusaha
kecil atau ekonomi menengah dengan kredit investasi kecil (KIK).
Adapun kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dalam
pelita II ini adalah dengan melakukan penghapusan pajak ekspor untuk
mempertahankan daya saing di pasar dunia. Penggalakan PMA dan PMDN untuk
mendorong investasi dalam negeri, yang menghasilakn cadangan devisa naik dari $
1,8 milyar menjadi $ 2,58 milyar dan naiknya tabungan pemerintah dari Rp 255
milyar menjadi Rp 1.522 milyar pada periode pelita II tersebut. Sedangkan
kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan hasil produksi
nasional dan daya saing komoditi ekspor karena tingkat rata-rat inflasi 34%,
resesi dan krisis dunia tahun 1979, serta penurunan bea masuk impor komoditi
bahan dan peningkatan bea masuk komoditi impor lainnya.
Namun dengan adanya pelita II berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi.
Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang
di rehabilitasi dan di bangun.
d.
Periode Pelita III
Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret
1984)
Pelita III lebih menekankan pada
Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah
pembangunan pada segala bidang. Pelita III ini menitikberatkan pada sektor
pertanian menuju swasembada pangan, serta menignkatkan industri yang mengolah
bahan baku menjadi barang jadi. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari
kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam
suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut:
Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
e.
Periode Pelita IV
Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret
1989)
Menitikberatkan pada sektor
pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan, serta meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri
berat maupun industri ringan. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara
lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras
sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan
ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia)
pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada
pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
Adapun contoh dari kebijakan yang
dilakukan pemerintah dalam pelita IV ini adalah sebagai berikut:
Kebijakan Inpres No. 5 tahun 1985,
yakni meningkatkan ekspor non migas dan pengurangan biaya tinggi dengan :
a)
Pemberantasan pungli
b)
Mempermudah prosedur kepabeanan
c)
Menghapus dan memberantas biaya siluman
Paket Kebijakan 6 Mei (PAKEM):
mendorong sektor swasta dibidang ekspor dan penanaman modal.
Paket Devaluasi 1986 : karena
jatuhnya harga minyak dunia yang didukung dengan kebijakan pinjaman luar
negeri.
Paket Kebijakan 25 Oktober 1986 : deregulasi bidang
perdagangan, moneter, dan penanaman modal dengan cara :
a) Penurunan bea masuk
impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku
b)
Proteksi produksi yang lebih efisien
c)
Kebijakan penanaman modal
Paket Kebijakan 15 Januari 1987,
yakni peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa sektor
industri (menengah ke atas) guna meningkatkan ekspor non migas, adapun
langkah-langkahnya:
Penyempurnaan dan penyederhanaan
ketentuan impor
Pembebasan dan keringanan bea masuk
Penyempurnaan klasifikasi barang
Paket Kebijakan 24 Desember 1987 (PAKDES) adalah
restrukturisasi bidang ekonomi dalam rangka memperlancar perijinan
(deregulasi).
Paket 27 Oktober 1988 : kebijakan deregulasi untuk
menggairahkan pasar modal dan menghimpun dana masyarakat untuk biaya
pembangunan.
Paket Kebijakan 21 November 1988 (PAKNOV) yakni
deregulasi dan debirokratisasi bidang perdagangan dan hubungan laut.
Paket Kebijakan 20 Desember 1988 (PAKDES), yakni
kebijakan dibidang keuangan dengan memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan
perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif, juga berisi
mengenai deregulasi dalam hal pendirian perusahaan asuransi
f.
Periode Pelita V
Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret
1994)
Menitikberatkan sektor pertanian dan
industri untuk menetapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil
pertanian lainnya; dan sektor industri khususnya industri yang menghasilkan
barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan
hasil pertanian, serta industri yang dapat mengahsilkan mesin mesin industri.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka
panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua,
yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses
tinggal landas Indonesia
untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Pengarahan pada pengawasan, pengendalian dan upaya
produktif untuk mempersiapkan proses tinggal landas menuju Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Tahap II, yakni kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Adapun
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di sektor dalam negeri:
1) Kebijakan Moneter
Sekumpulan tindakan pemerintah di
dalam mengatur perekonomian melalui tingkat bunga.
a) Kebijakan Moneter Kuantitatif
Mengatur tingkat bunga melalui
operasi pasar terbuka melaui SBI, merubah tingkat bunga diskonto, merubah
presentase cadangan minimal yang harus dipenuhi oleh setiap bank umum
b) Kebijakan Moneter Kualitatif
Mengatur dan menghimbau pihak bank
umum /lembaga keuangan lainnya baik manajemen maupun produk yang ditawarkan untukmendukung
kebijakan moneter kuanitatif bank Indonesia
2) Kebijakan Fiskal
Tindakan pemerintah dalam mengatur
ekonomi melalui anggaran belanja negara.
Macam-macam
kebijakan fiskal dalam ekonomi adalah:
Pajak langsung dan pajak tidak
langsung
Pajak regresif, sebanding dan progresif
Penerimaan pemerintah, pengendali tingkat pengeluaran
masyarakat
Untuk lebih memeratakan distribusi pendapatan dan
kekayaan masyarakat.
Adapun
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di sektor luar negeri:
1. Kebijakan Menekan Pengeluaran
Dilakukan dengan cara mengurangi
pengeluaran konsumsi.
Cara :
a. Menaikkan pajak pendapatan
b. Menaikkan tingkat bunga
c. Mengurangi pengeluaran pemerintah
2. Kebijakan Memindahkan Pengeluaran
Cara :
Memaksa
a) Mengenakan tarif dan
atau kuota
b) Mengawasi pemakaian
valuta asing
Rangsangan
a) Ekspor : mengurangi
pajak komoditi ekspor, menyederhanakan prosedur ekspor, memberantas pungli dan
biaya siluman
b)
Menstabilkan harga dan upah di dalam negeri
c)
Melakukan devaluasi
SUMBER :
http://anggithdanishaa.blodspot.com/2011/02/perekonomian-indonesia-pada-tahun-1965.html
http://fadilfadilblogspotcom-alpachino.blogspot.com/2011/03/kebijakan-pembangunan-pelita-i-pelita.html
Bagaimana Kebijaksanaan Perekonomian Indonesia selama era
Reformasi:
Tahapan perkembangan :
Ø
Masa
sebelum terjajah ( < tahun 1600 )
Ø
Masa
penjajahan ( tahun 1600 – 1945 )
Ø
Masa
sebelum 1966/ Orde Lama ( tahun 1945 – 1966 )
Ø
Masa
sesudah 1966 ( era Orde Baru )
ERA ORDE LAMA ( 1945 – 1966 )
Pada tanggal 17 Agustus 1945,
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam
prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa member perhatian
sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an,
Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yakni pada aksi
Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintahan Belanda mengakui secara resmi
kemerdekaan Indonesia, selama decade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965,
Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di
sejumlah daerah, seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya, selama
Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun
sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama
decade 1950-an, dan setelah itu turun drastic menjadi rata-rata per tahun hanya
1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965
dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB)
masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang
menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan
defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan (APBN) terus membesar dari
tahun ke tahun.
Selain tu, selama periode Orde Lam,
keiatan paroduksi di sector pertanian dan sector industry manufaktur berada
pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan
infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari
bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya
permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan
tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir
periode Orde Lama.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya
perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh
hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan
Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam
negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan
manajemen ekonomi makro yang sngat jelek selama rezim tersebut. Dapat
dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri ini sangat sulit
sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Kebijakan ekonomi paling penting
yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata
uang nasional yang pada saat itu masih gukden dan pemotongan uang sebesar 50%
atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh
De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia. Pada
masa Kabinet Natsir (cabinet pertama dalam Negara kesatuan Republik Indonesia),
untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang
disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh cabinet
berikutnya merumuskan rencana pembangunan ekonomi lima tahun (yang pada masa
Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa Kabinet Sukiman,
kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan system kurs berganda.
Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihkan
perekonomian Indonesia saat itu diantaranya untuk pertama kalinya memperkenalkan
konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, malakukan
“rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui medernisasi dan pengurang jumlah
personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa Kabinet Ami I, hanya
dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi walaupun kurang
berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet
Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk
diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk menekan laju
uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang
memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan
khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak)
persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan system
ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam
perekonomian Indonesia.
Berbeda dengan cabinet-kabinet sebelumya di atas, pada masa Kabinet Ali I,
praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain mencanangkan sebuah
rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960. Kurang
aktifnya cabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaa politik di
dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari
masyarakat daerah-daerah di luar Jawa yang selama itu tidak merasa puas dengan
hasil pembangunan di tanah air. Ketidakstabilan politik di dalam negeri semakin
membesar pada masa Kabinet Djuanda, sehingga praktis cabinet ini juga tidak
bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Perhatian sepenuhnya dialihkan
selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam negeri juga pada upaya
pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa Kabinet Djuanda juga
dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
Dilihat dari aspek politiknya selama
Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami system politik yang
sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode
demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa system
politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik. Konflik
politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan
untuk membentuk suatu cabinet pemerintah yang solid dan dapat bertahan hingga
pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi tu (demokrasi parlemen),
tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap cabinet hanya satu tahun
saja. Waktu yang sangat pendek dan disertai dengan banyaknya keributan tenang
bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah social
dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan
dan melaksanakannya.
Selama periode 1950-an, struktur
ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sector formal / modern
seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil
yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sector informal / tradisional
terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan
asing kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi
yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relative lebih padat capital
dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan
perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti
Jakarta dan Surabaya.
Struktur ekonomi seperti yang
digambarkan di atas, yang bolehBoeke (1954)
disebut dual socities, adalah salah satu karakteristik
utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu
ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah
yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang
bersifat langsung, seperti mengeluarkan peratura-peraturan atau undang-undang,
maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat
perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara
penduduk asli dan orang-orang nonpribumi / nonlocal.
Keadaan ekonomi Indonesia, terutama
setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda,
menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda,
ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada decade
1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan
ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil,
terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya
produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector pertanian
(termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal periode ‘Ekonomi
Terpimpin’. System politik dan ekonomi pada masa Orde Lama, khususnya setelah
‘Ekonomi Terpimpin’ dicangangkan, semakin dekat dengan haluan / pemikiran
sosialis / komunis. Walaupun ideology Indonesia adalah Pancasila, pengaruh
ideology komunis dan Negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang memilih haluan politik
berbau komunis, hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi,
antiimprelisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada masa
itu, prinsip-prinsip individualism, persaingan bebas, dan perusahaan swasta /
pribadi sangat ditentang, karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya,
prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan
ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dari Negara-negara Barat, baik
dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk
membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat
membutuhkan dana penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang
sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan
serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.
Selain kondisi politik di dalam
negeri yang tidak mendukung, buruknya pereknomian Indonesia pada masa pemrintahan
Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan factor-faktor produksi, seperti
orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi,
tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya
untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industry), teknologi,
dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi
pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957), sejak cabinet pertama
dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama
terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industry, unifikasi
dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan factor-faktor tersebut
diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu,
akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang
revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965,
ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya
kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah
tersebut terjadi suatu perubahan politi yang drastic di dalam negeri, yang
selanjutnya juga mengubah system ekonomi yang dianutu Indonesia pada masa Orde
Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak,
dapat dikatakan ke system kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menganut suatu system yang
dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideology
Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan Orde
Baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak system
kapitalis, seperti di Amerika Serikat (AS) atau Negara-negara industry maju
lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya
kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini,
terutama setelah krisis ekonomi.
Perekonomian berkembang kurang
menggembirakan :
·
Kehidupan politik tidak stabil ( pergantian kabinet )
·
Defisit anggaran belanja negara terus meningkat ( cetak uang baru >
inflasi – sejak 1955- )
·
Nasionalisasi perusahaan asing – 1951 / 1958 ( UU No 78 / 1958 tentang
Investasi Asing > tutupnya Bursa Efek Jakarta > pelarian kapital )
·
Hilangnya pangsa pasar ( gula, karet alam dll ) dalam perdagangan
internasional ( ekspor < 10% PDB > neraca pembayaran tertekan >
depresiasi rupiah )
·
Kejanggalan sistem moneter ( Bank merupakan hasil nasionalisasi termasuk BI
( De Javasche bank ), BI ( 1953 ) berfungsi : (1) menstabilkan nilai mata uang
(2) mengatur sirkulasi uang (3) mengawasi dan mengembangkan perbankan dan
kredit, memasok kredit / premi kepada pemerintah sebesar 30% dari penerimaan
pemerintah – 1957/58, sistem pengendalian kurs.
MASA PERALIHAN ( 1966 – 1968 )
Pada tanggal 14 dan 15 Mei
1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan
hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para
investor asing tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut,
paling tidak untuk jangka pendek. Pemerintan Thailan meminta bantuan IMF.
Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga
mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.
Apa yang terjadi di Thailand
akhirnya merebet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Rupiah
Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp
2.950 per dolar AS. Nilai rupiah dalam dolar mulai tertekan terus dan pada
tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per
dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998,
antara bulan Januaru-Februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada
bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.
Nilai tukar rupiah terus melemah,
pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda
proyek-proyek senilai Rp 39 Triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan
anggaran belanja. Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah Indonesia akhirnya
menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF.
Pada Oktober 1997, lembaga keuangan
internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangan pada Indonesia yang
mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah juga mengumumkan pencabutan izin usaha
16 bank swasta yang dinilai tidak sehat sehinnga hal itu menjadi awal dari
kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis rupiah yang akhirnya menjelma
menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis politik. Pada awalnya,
pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh wakilnya,
yakni B.J. Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya tetap saja
tidak terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih adanya korupsi,kolusi dan
nepotisme (KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie masyarakat menyebutnya
pemerintahan transisi.
Peralihan kepemimpinan akibat
pemberontakan PKI.
Ekonomi kacau :
Ketidak-mampuan memenuhi kewajiban
utang LN ( >US $ 2milyar )
Penerimaan ekspor hanya setengah
dari pengeluaran impor
Ketidak-berdayaan mengendalikan
anggaran belanja dan memungut pajak
Laju inflasi tinggi (30-50%
perbulan)
Sarana dan prasarana ekonomi yang
buruk
Prioritas kebijakan ekonomi:
·
Memerangi inflasi
·
Mencukupkan stok pangan (beras)
·
Merehabilitasi prasarana perekonomian
·
Meningkatkan ekspor
·
Menediakan /menciptakan lapangan kerja
·
Mengundang kembali investasi asing
Dalam jangka pendek, program ekonomi
ORde Baru :
·
Tahap penyelamatan (juli-desember 1966)
·
Tahap rehabilitasi (januari-juni 1967)
·
Tahap konsolidasi (juli-desember 1967)
·
Tahap stabilisasi (januari-juni 1968)
ORDE BARU
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan PresidenSoeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno
pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Masa Jabatan Presiden Suharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden,
dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik
Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri
dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia
menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia
"bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali
pada tanggal28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama
kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde
Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebutlustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan
dengan menggelarMahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak.
Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang"
ke Pulau Buru.
Sanksi
nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan
lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya
dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi
militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikanBarat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif.
Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka
yang dekat dengan Cendana.
Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus
disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminarSeskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusungAli Moertopo. Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada
satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar,TNI, dan lembaga pemikir serta
dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini,
dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap
sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi
mereka. Kesenianbarongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaianBahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena
pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama
tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu
mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan
akan menyebarkan pengaruh komunismedi Tanah Air. Padahal,
kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang,
yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang
sangat mengharamkan perdagangan dilakukan
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu
cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya sepertiJawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi,Timor Timur, dan Irian Jaya.
Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari
program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan
kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua
transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak
menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para
transmigran.
SUMBER :
http://bahesti.wordpress.com/2011/02/13/280/
http://feliciaapriliani77.blogspot.com/2011/03/sejarah-perekonomian-indonesia-sejak.html
Dampak BBM Naik atau Tidak Naik
pada Indonesia:
Ø POLEMIK NAIK atau TIDAKNYA HARGA BBM
Meski revisi APBN-P 2012 sudah disepakati, namun
polemik mengenai naik atau tidaknya harga BBM bersubsidi masih belum berakhir.
Sejumlah kalangan baik
politisi maupun praktisi hukum yang tidak puas dengan keputusan tersebut mulai
mengajukan judisial review terhadap revisi UU No. 22 tahun 2011 tentang APBN-P
2012 yang baru saja disepakati tersebut ke MK.
Apa sebenarnya yang telah
terjadi secara politik dan hukum dalam polemik kenaikan harga BBM bersubsidi.
Tulisan ini mencoba menguraikan hal tersebut.
Inkonstitusionalitas
sebuah Kondisionalitas
Pembahasan Revisi UU N0.
22 tahun 2011 tentang APBN-P yang sudah disepakati tanggal 30 Maret 2012 lalu
dalam sidang paripurna DPR selain berpotensi melanggar konsitusi juga
mengandung contradictory in substance dalam pasal 7.
Syarat kondisionalitas
dalam pasal 7 ayat (6A) yang menyebutkan bahwa “Dalam hal harga rata-rata
minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu
berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dalam waktu 6
bulan dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P tahun 2012,
pemerintah berwenang melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan
pendukung” secara materil menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
hukum.
Pasal 7 ayat (6A) ini
juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 atas
judicial review pasal 28 ayat (2) UU No 22 tahun 2011 tentang Minyak dan Gas
Bumi.
Dalam putusan MK tersebut
“Harga Minyak dan harga Gas Bumi yang diserahkan kepada mekanisme persaingan
usaha” bertentangan dengan mandat konstitusi pasal 33 UUD 1945karena mendorong
liberalisasi pengelolaan minyak dan gas bumi.
Sikap sejumlah partai politik
yang mengambangkan opsi kenaikan BBM melalui kondisionalitas sebagaimana diatur
dalam pasal 7 ayat (6A) selain sangat berkharakter politik pencitraan juga
memiliki tiga kelemahan konstitusionalitas.
Pertama, pasal ini
memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah untuk menentukan
harga eceran BBM bersubsidi. Hal ini bertentangan dengan semangat pasal 20 UUD
1945 yang memberikan kekuasaan kepada DPR sebagai pembentuk Undang-Undang.
Apalagi hal ini terkait dengan hajat hidup orang
banyak. Dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Pasal
7 ayat (6A) revisi UU No. 22 tahun 2011 jelas mencabut fungsi legislasi dan
anggaran yang dimiliki oleh DPR dalam menentukan besaran anggaran pendapatan
dan belanja negara. Dengan demikian pasal ini berpotensi mengandung unsur
inskonstitusionalitas.
Inskonstitusionalitas kedua pasal 7 ayat (6 A)
terjadi karena hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun
2004 atas judicial review UU No. 22 tahun 2001. Putusan MK yang mengabulkan
larangan penentuan harga minyak dan gas bumi berdasarkan mekanisme pasar masih
berlaku hingga kini, sehingga kondisionalitas pasal 7 ayat (6 A) tersebut
bertentangan dengan putusan MK tersebut.
Masih terkait dengan hal ini, inkonstitusionalitas
ketiga juga terjadi karena pasal 7 ayat (6 A) bertentangan dengan semangat
pasal 33 ayat (1), (3) dan (4) UUD 1945, karena berpotensi menyebabkan
terlanggarnya semangat azas ekonomi kekeluargaan, prinsip penguasaan negara
atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan prinsip
keadilan dan kebersamaan. Selain itu, pasal 7 ayat (6 A) juga berpotensi
menyebabkan pengabaian hak setiap orang atas perlindungan dan kepastian hukum
yang adil.
Selain bertentangan dengan berbagai macam pasal
UUD 1945, pasal 7 ayat (6 A) juga mengandung contradictory in substance dengan
pasal 7 ayat (6) yang menyebutkan bahwa harga eceran BBM bersubsidi tidak
mengalami kenaikan. Kedua ayat ini yaitu (6) dan (6 A) jelas jelas memberikan
ketidakpastian hukum kepada rakyat.
Secara kesuluruhan revisi UU No, 22 tahun 2011
tentang APBN-P jelas mengandung sebuah ketidakpastian yang sangat besar. Hal
ini karena semua perencanaan pembangunan dan pelayanan kepada masayarakat harus
menunggu bergerak naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.
Hal ini tentu akan menyebabkan kesulitan yang
sangat besar dalam persiapan implementasi APBN-P 2011, terutama karena secara
teknis lemahnya persiapan bagi program-program kompensasi pengalihan subsidi
BBM.
Bukan tidak mungkin program-program kompensasi ini
akan dilaksanakan dalam waktu yang terburu-buru, sehingga menimbulkan persoalan
korupsi baru dan ketidakefektifan penyerapan anggaran. Jika ini terjadi maka kembali
rakyat dirugikan dengan kenaikan harga BBM.
Konsekuensi Politik
Proses pembahasan APBN-P 2012 ini tampaknya memang
sangat diwarnai oleh kegamangan dan ketidakjelasan sikap partai politik
terhadap prioritas pembangunan nasional. Dapat dikatakan bahwa APBN-P 2012
sebagai instrumen pengarah kebijakan pembangunan nasional tahunan bukan saja
tidak memiliki kaitan dengan kebjakan pembangunan jangka menengah dan jangka
panjang, tetapi sangat diwarnai oleh politik pencitraan. Kegamangan dan
ketidakjelasan sikap politik ini sangat jelas terlihat pada opsi 2 yang
akhirnya menghasilkan pasal 7 ayat (6 A), sebuah cermin keragu-raguan dalam
proses pembuatan kebijakan.
Dapat pula dikatakan bahwa proses pembahasan
APBN-P 2012 ini tidak didasari pada keinginan dan basis intelektualitas yang
baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara. Sebuah pasal dalam kebijakan
publik dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dimandatkan oleh
konstitusi, bukan sebaliknya hanya untuk kepentingan politik parsial tertentu belaka.
Ø
DAMPAK APABILA BBM NAIK:
·
Kemenhub akan Siapkan
Subsidi Angkot
Kementerian
Perhubungan meminta agar seluruh dinas perhubungan provinsi seluruh
Indonesia untuk menyiapkan data angkutan umum terkait rencana pemberian subsidi
Rp5 triliun sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
“Saya minta kepada seluruh dinas perhubungan provinsi di Tanah Air agar data
angkutan umum segera disiapkan, yang berplat kuning dan yang punya izin,” kata Dirjen Perhubungan Darat Suroyo Alimoeso,Rabu, 28 Maret
2012.
Suroyo menjelaskan identifikasi paling mudah melalui koordinasi dengan Dinas
Pendapatan Daerah (Dispenda). Hal ini terkait dengan data kendaraan yang bayar
pajak, kemudian dievaluasi mana kendaraan yang digunakan untuk angkutan umum.
“Kami tidak ingin dana subsidi tidak sampai ke pemilik angkutan umum, jangan
sampai terjadi seperti yang lalu-lalu,” ujarnya.
Suroyo mengaku dalam pemberian subsidi, pemerintah terkendala bagi angkutan
umum milik perorangan. Kalau diberikan melalui assosiasi atau koperasi yang
menaungi angkutan umum itu, dikhawatirkan tidak sampai. Karena pengalaman
sebelumnya, bantuan seperti itu juga bermasalah .
"Kalau angkutan umum yang berbadan hukum, gampang, kita tinggal datang
melihat jumlah armada, lalu diberikan. Tetapi yang perorangan, ini yang jadi
masalah,” katanya.
Menteri Perhubungan EE. Mangindaan sebelumnya mengatakan total anggaran yang
disiapkan pemerintah lewat APBNP 2012 menjelang penaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi senilai Rp9,8 triliun.(api)
·
Inflasi Tinggi
Inflasi
Indonesia bisa meningkat jika harga bahan bakar minyak (BBM) melonjak naik,
demikian Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution, Rabu *
menjelaskan "Kami memperkirakan inflasi itu sekitar 4,4 hingga 4,5
persen. Jika ada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) memang lebih tinggi
tetapi itu adalah biaya untuk menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara serta Neraca Pembayaran," kata dia seusai Seminar Nasional Mediasi
Perbankan: Optimalisasi Perlindungan Nasabah di Jakarta.
Dia menilai peningkatan inflasi akibat kenaikan harga BBM masih tergantung
tanggapan baik dari pemerintah maupun oleh BI.
Menurut Darmin, BI telah memiliki rencana jika inflasi meningkat akibat
kenaikan harga BBM. "Saya belum mau bilang apa yang akan kami lakukan. Tapi kami tahu apa yang akan
kami lakukan," tegas dia.
Terkait defisit anggaran yang bisa mencapai hingga 3,1 persen dari produk
domestik bruto (PDB) jika harga BBM naik pada kuartal ketiga 2012, Darmin
menjelaskan hal itu tergantung dari ada atau tidaknya kenaikan harga BBM dan
kapan waktu yang ditetapkan. "Sehingga defisit anggaran yang tadinya 2,3
jadi 2,5 persen dari PDB. Ya memang pasti ada sedikit kenaikan, karena harga
BBMnya tidak naik tapi biayanya naik. Jadi subsidinya harus naik sehingga defisit
sedikit lebih besar," jelas dia.
Dia mengaku jika dibandingkan dengan sejumlah negara lain, peningkatan defisit
2,5 persen tidaklah besar, namun jika dibandingkan dengan keadaan APBN di
Indonesia selama sepuluh tahun kenaikan itu cukup besar. Pemerintah dalam
APBN-P 2012 masih menggunakan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) di
angka 105 dolar AS per barel, sedangkan rata-rata harga minyak mentah Indonesia
mencapai 122 dolar AS per barel dalam tiga bulan pertama 2012.
DPR sebelumnya telah menetapkan harga BBM diizinkan untuk disesuaikan oleh
pemerintah sesuai pasal 7 ayat 6A tentang APBN-P 2012 dengan harga minyak
mentah Indonesia harus 15 persen di atas asumsi. Dengan asumsi ICP 105 dolar AS
per barel maka harga yang dipatok bagi pemerintah untuk bisa menggunakan
wewenangnya menaikan harga BBM adalah sebesar 120,75 dolar AS per barel.
·
Tekanan Inflasi Datang
Bertubi
Kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM) akan memberikan tekanan terhadap inflasi paling cepat selama dua
bulan. Hal tersebut dikarenakan, naiknya BBM mempunyai dampak langsung dan
lanjutan alias second round effect terhadap inflasi.
Peneliti Ekonomi Utama Direktorat Riset Ekonomi
dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Darsono menyatakan, ada dua dampak kenaikan BBM, yakni dampak langsung dan tidak
langsung.
"Dampak langsung ya seketika. Ketika BBM
naik, maka harga bensin naik dan menyebabkan konsumsi masyarakat akan bertambah
itu yang terjadi bulan pertama," ujarnya di sela diskusi bersama wartawan
di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Selasa (8/3/2011).
Kemudian, lanjut Darsono terdapat dampak
lanjutan alias second
round effect misalnya kenaikan
tarif beberapa kendaraan umum.
"Adanya kenaikan tarif angkutan pastinya
nanti. Naiknya berapa? itu tidak linear, tergantung negosiasi pemerintah.
Karena itu, pemerintah diharapkan bisa bermain cantik dalam negosiasi tersebut.
Misalnya dengan memberikan kompensasi terhadap penyediaan sparepart kendaraan
umum," paparnya.
Lebih lanjut Darsono menjelaskan, ketika tarif
angkutan naik maka sudah pasti harga komoditas juga mengalami kenaikan. Hal ini
dikarenakan proses distribusi dari hasil komoditas akan memakan biaya yang
lebih besar karena menggunakan kendaraan.
Data Bank Indonesia menyebutkan ketika harga BBM
jenis premium Rp 5.000 di 2008 tingkat inflasi mencapai 11% namun ketika itu
krisis global tengah melanda Indonesia. Bank Indonesia mengaku sudah melakukan
simulasi atas kenaikan harga BBM ini, meski enggan memparkan angka sumbangan
inflasinya.
Seperti diketahui, pemerintah belum ambil sikap
terhadap opsi rencana pembatasan BBM bersubsidi. Menko Perekonomian Hatta
Rajasa mengatakan pemerintah telah mendengarkan paparan dari tim pengkaji
pembatasan BBM bersubsidi terkait aspek ekonomi apabila program tersebut
diterapkan.
Ketua Tim Pengkaji Pembatasan BBM bersubsidi
Anggito Abimanyu mengungkapkan, terdapat tiga opsi yang diusulkan pihaknya
yaitu opsi pertama, kenaikan harga premium sebesar Rp 500 serta pemberian cashback untuk angkutan umum. Cashback ini diberikan karena angkutan umum memberikan
pelayanan untuk masyarakat.
Opsi kedua, lanjutnya, menjaga harga pertamax
pada level Rp 8.000 per liter, sehubungan dengan adanya migrasi pengguna
premium ke pertamax dan opsi ketiga adalah penjatahan konsumsi premium dengan
menggunakan sistem kendali yang bukan hanya berlaku pada angkutan umum tapi
juga motor.
Ketika pembatasan BBM diterapkan, BI
memprediksikan dampak pembatasan BBM tersebut bisa menyumbang 0,7-0,8% pada
total inflasi tahunan
Untuk diketahui, harga minyak mentah dunia
memang terus membubung tinggi seiring krisis yang belum juga usai di Timur
Tengah.
Pada perdagangan Senin (7/3/2011), minyak light
sweet pengiriman April naik US$ 1,02 menjadi US$ 105,44 per barel. Minyak Brent
pengiriman April sempat melonjak ke US$ 118,50 per barel sebelum akhirnya surut
ke US$ 115,04 per barel.
- Harga Sembako Diperkirakan Naik 5%
Harga-harga kebutuhan pokok diperkirakan hanya mengalami kenaikan sebesar 5
persen dengan harga baru BBM yang mulai berlaku 24 Mei kemarin.
Hal tersebut disampaikan Menteri Perdagangan
Mari Elka Pangestu di Kantor Pos Besar Bandung, Senin (26/5/2008).
"Kenaikan harga bahan pokok dan makanan
yang langsung disebabkan oleh kenaikan harga BBM diperkirakan berkisar antara
1-5 persen. Hal ini terutama karena kenaikan biaya distribusi dan transportasi
yang naik berkisar 10-20 persen," ujar Mari.
Mari mengungkapkan produsen tidak akan
mengalami kenaikan biaya produksi. Karena sejak tahun 2005 produsen sudah
mendapat harga BBM yang tidak disubsidi dan sebagian besar produsen sudah
menggunakan energi alternatif di luar BBM.
Mari menambahkan, dengan adanya kenaikan BBM
pemerintah akan terus memantau lonjakan harga bahan pokok khususnya harga
beras. Apabila harga beras melonjak di atas 20% maka pemerintah akan segera melakukan
operasi pasar.
"Bila terjadi, maka Bulog akan melakukan
operasi pasar. Selain itu pemerintah bersama BUMN serta swasta akan menggelar
pasar murah di berbagai lokasi pada bulan-bulan mendatang," kata Mari.
Mari menjelaskan dari pengalaman kenaikan
harga BBM pada Maret 2005 lalu sebesar 35 persen telah memberikan dampak
inflasi bulan pertama sebesar 1,9 persen yang diikuti sebesar 0,3 persen dan
0,2 persen pada bulan berikutnya.
Ø
DAMPAK APABILA BBM
TIDAK NAIK
·
Negara Perlu Rp 15
Triliun Lagi
Pengamat
ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu menyayangkan atas
kebijakan yang diambil Pemerintah dan DPR RI terkait dengan kebijakan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM). Pasalnya, hasil tersebut memberikan ketidakpastian
ekonomi negara di mana harga barang telah naik tetapi justru harga BBM dijaga
tetap untuk sementara waktu ini.
"Sangat mengecewakan, Pemerintah dan DPR
menjadi sumber ketidakpastian ekonomi," tegas Mantan Kepala Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ini kepada detikFinance, Minggu (1/4/2012).
Anggito menyatakan tidak mampunya pemerintah
meloloskan opsi kenaikan harga BBM untuk 1 April ini membuktikan kegagalan
pemerintah dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada semua pihak.
"Apapun ini merupakan kegagalan komunikasi
Pemerintah dengan DPR dan dengan Ormas (NU, Muhamadiyah), serta dengan
mahasiswa dan kalangan kampus," jelasnya .
Menurut Anggito, dampak dari keputusan tersebut
terhadap fiskal negara, diperkirakan perlunya tambahan pembiayaan sekitar Rp 15
triliun. Jumlah tersebut telah memperhitungkan kemampuan pembiayaan kelebihan
subsidi dari tidak terpakainya anggaran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat.
"Dampak fiskalnya belum jelas, kalau harga
BBM tidak naik, subsidi BBM kurang Rp 40 triliun, tetapi kompensasi tidak jadi
jadi kurang Rp 25 trilun, jadi APBN kurang pembiayan minimal 15 triliun,"
pungkasnya.
Ø
SBY Bahas Batalnya Kenaikan BBM
Rapat paripurna DPR soal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara-Perubahan (RAPBN-P) 2012 membuka peluang harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
dinaikkan tahun ini. Hasil tersebut akan pemerintah bahas dalam rapat kabinet
mendatang.
"Bapak Presiden menghormati keputusan DPR
RI dini hari tadi," kata Jubir Keprsidenan, Julian Aldrin Pasha.
"Hasilnya itu akan dibahas dalam sidang
kabinet," imbuh Julian yang dihubungi melalui telepon, Sabtu (31/3/2012).
Seperti diberitakan sebelumnya, hasil voting
sidang paripurna DPR memutuskan menerima tambahan pasal 7 Ayat 6A. Klausul
tambahan dalam APBNP 2012 memberian peluang pemerintah menaikkan dan menurunkan
harga BBM bila harga minyak mentah Indonesia mengalami kenaikan atau turun
rata-rata 15 persen dalam waktu 6 bulan terakhir.
Namun, rencana awal pemerintah menaikkan harga
BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter per 1 April 2012 tetap ditolak. Sebab
harga rata-rata 6 bulan terakhir belum 15 persen di atas asumsi ICP baru
sebesar US$ 105/barel.
Dengan keputusan itu, maka harga BBM belum akan
naik pada 1 April besok. Terhadap keputusan itu, Menkeu Agus Martowardojo atas
nama pemerintah dalam sambutan akhir seusai sidang Paripurna DPR, menyatakan
dapat menerima keputusan sidang tersebut.
"Setelah ikuti dan cermati dinamika dalam
rapat paripurna DPR ini, dan telah diputuskan pengambilan rumusan baru Pasal 7
Ayat 6a. Pemerintah menyatakan sependapat dengan hasil itu," katanya.
Pemerintah juga sependapat dengan asumsi baru
APBN-P. Yaitu pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, inflasi 6,8 persen, harga ICP US$
105/barel, nilai tukar rupiah Rp 9.000/dolar AS, suku bunga Surat Berharga Negara
(SBN) 5 persen, dan lifting minyak 930 barel per hari.
Ø Paling Cepat
BBM Naik Per Juli 2012
"Saya perkirakan harga BBM baru bisa naik
paling cepat 1 Juli 2012."
Pengamat minyak dan gas (Migas), Kurtubi, menilai harga bahan bakar minyak
(BBM) paling cepat baru naik pada 1 Juli nanti.
"Saya perkirakan harga BBM baru bisa naik paling cepat 1 Juli 2012,"
kata Kurtubi kepada beritasatu.com, hari ini.
Perkiraan kenaikan harga BBM itu diperolehnya berdasarkan fluktuasi harga
minyak di pasar dunia .
Hasil rapat paripurna DPR memberikan keleluasaan bagi pemerintah
menaikkan harga BBM bersubsidi jika terjadi kenaikan harga ICP rata-rata dalam
6 bulan terakhir 15 persen dibawah atau diatas target Asumsi APBN.
Saat ini, kata Kurtubi, harga minyak mentah di pasar dunia sudah berada 15
persen di atas asumsi Indonesia Crude Price versi APBN sebesar $105 Amerika
Serikat per barrel.
Harga minyak mentah Brent hari ini sebesar $122.88 per barel, sementara WTI
$103.1 per barel.
"Sehingga, jika seandainya tidak ada ketentuan rata-rata enam bulan, maka
hari ini harga BBM sudah bisa naik," kata Kurtubi.
Kurtubi mengatakan kenaikan harga minyak dunia yang dapat berdampak pada
kenaikan BBM bersubsidi akan terjadi jika konflik di Selat Hormuz (Iran)
memburuk.
Akan tetapi, apabila konflik Selat Hormuz mendingin, maka harga ICP di pasar
dunia akan turun di bawah US$120/bls.
"Sehingga harga BBM selama tahun 2012 bisa tidak naik," kata Kurtubi.
Ø
RAPBN
2012, Momen Reformasi Kebijakan Subsidi BBM
Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bappenas Armida Alisjahbana berpendapat, pembahasan RAPBN-Perubahan 2012 yang
sekarang ini sedang berlangsung merupakan momen untuk melakukan reformasi
kebijakan energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Saya ingin menggarisbawahi, menerangkan, sebetulnya
sekarang itu buat kita dengan momen RAPBN 2012 itu sebetulnya inilah momen bagi
Indonesia untuk secara lebih sistematis mulai melakukan transformasi itu,
reformasi. Dan kebijakan subsidi momennya sekarang, menurut saya, terutama
energi lebih khusus lagi BBM (bahan bakar minyak)," sebut Armida dalam
konferensi pers bersama Asian Development Bank terkait perekonomian Indonesia,
di Jakarta, Senin (26/3/2012).
Armida menerangkan, komponen terbesar dalam subsidi BBM
adalah yang penggunaannya untuk transportasi, apakah itu BBM jenis premium atau
solar. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menurunkan
porsinya dalam anggaran negara.
Beberapa tahun lalu, lanjut dia, pemerintah berhasil
melakukan reformasi dalam hal subsidi minyak tanah. Dalam dua-tiga tahun,
pemerintah berhasil mengurangi subsidi minyak tanah tanpa menjadi isu besar.
Dengan keberhasilan tersebut, berkuranglah beban pemerintah dalam memberikan
subsidi energi. "Nah, untung itu sudah selesai sehingga PR kita tinggal
bagaimana subsidi yang kaitannya BBM dan transportasi, khususnya premium dan
solar," tambah dia.
Idealnya, kata Armida, ketika BBM diimpor lantas besaran
subsidinya dikurangi maka harus ada opsi. Apalagi harga minyak dunia naik
secara mendadak. Opsi itu, terang dia, adalah konversi BBM ke bahan bakar gas.
"Itu saya rasa kuncinya. Tanpa ada opsi itu ya pemerintah tidak dalam
posisi mengatakan pokoknya harga BBM bersubsidi naik kemudian kompensasi. Bukan
itu, kalau itu sangat-sangat jangka pendek. Tapi sebetulnya harus reform, yaitu konversi BBM ke
BBG," sebut Armida.
Konversi dari BBM ke BBG dinilai penting karena salah satu
alasannya yakni murahnya harga BBG ketimbang BBM. Harga BBG sekarang ini
sebesar Rp 3.100 per liter ekuivalen. "Itu kan opsi yang menarik dan itu sudah berhasil
dilakukan di negara-negara lain. Bukannya tidak berhasil. Silakan dicek, di Thailand, India," paparnya.
"Kedua, PR kita juga adalah public transportation,
terutama di kota-kota besar. Jakarta
juga belum terintegrasi dengan baik sehingga kembali lagi, kalau harga BBM
bersubsidi itu harus naik, opsi itu (konversi BBM ke BBG) ada," pungkas
Armida.
Ø
Menyikapi RAPBN 2012
Dalam pidato kenegaraan yang dibacakan
Presiden SBY, 16 Agustus 2011, sekaligus pengantar nota keuangan dan RAPBN 2012
menetapkan asumsi ekonomi makro sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi dipatok
6,7 persen, laju inflasi 5,3 persen, nilai tukar rupiah Rp8.800 per dollar AS,
harga minyak 90,0 dollar AS per barel, dan lifting minyak 950 ribu barel
per hari. Dengan asumsi ini, maka anggaran belanja negara dalam RAPBN 2012
ditetapkan sebesar Rp1.418,5 triliun atau naik 7,4 persen dari tahun 2011
sebesar Rp1.320,7 triliun (dalam APBN-P 2011).
Sementara di sisi pendapatan negara dan hibah
dipatok angka Rp1.292,9 triliun atau naik sebesar Rp123,0 triliun atau 10,5
persen dari target pendapatan negara dan hibah pada APBN-P Tahun 2011 sebesar
Rp1.169,9 triliun. Dengan porsi pendapatan dan belanja negara tersebut, maka
defisit anggaran menjadi 1,5 persen (dari PDB) atau lebih rendah dari defisit
dalam APBN-P 2011 sebesar 2,1 persen. Secara umum dari tahun ke tahun persoalan
target defisit anggaran negara seringkali melenceng diakibatkan oleh dua faktor
utama: kegagalan mengoptimalkan pendapatan negara, dan kegagalan mempertahankan
kualitas pengelolaan anggaran yang selama ini bocor di kisaran 30-40 persen.
Dari total anggaran belanja b\negara dalam RAPBN
2012 sebesar Rp1.418,5 triliun dengan komposisi anggaran belanja pemerintah
pusat sebesar Rp954,1 triliun atau mengalami peningkatan 5,1 persen dari APBN-P
2011 (atau naik Rp45,9 triliun). Sedangkan dana transfer ke daerah dalam RAPBN
tahun 2012 sebesar Rp464,4 triliun naik 12,6 persen dari pagu APBN-P 2011
sebesar Rp412,5 triliun dengan komposisi Rp394,1 triliun untuk dana perimbangan
dan Rp 70,2 triliun untuk dana otonomi khusus dan penyesuaian. Alokasi dana
perimbangan itu terdiri atas Dana Bagi Hasil atau DBH Rp98,5 triliun; Dana
Alokasi Umum atau DAU Rp269,5 triliun; dan Dana Alokasi Khusus atau DAK Rp26,1
triliun. Dalam kurun 2006-2011, proporsi anggaran pemerintah pusat-transfer
daerah rata-rata berada pada titik 30-34 persen untuk transfer daerah dan 66-70
persen untuk belanja pemerintah pusat.
Pola ini tentunya dapat memberikan signal bagi
publik perlunya peningkataan keberpihakan anggaran terhadap pembangunan di
daerah di tengah isu disparitas ekonomi antar wilayah yang tak terselesaikan
selama 66 tahun Indonesia
merdeka. Di sisi lain perlu dicatat bahwa 83,2 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan
perdesaan dengan total jumlah desa sebesar 74 ribu desa (survei PODES, 2006).
Dari 74 ribu desa tersebut, 45 persen atau sekitar 32.500 desa merupakan desa
tertinggal (miskin). Sementara di tingkat Kabupaten, dari total 399 Kabupaten
yang ada di Indonesia 183
kabupaten diidentifikas sebagai kabupaten tertinggal yang sebagian besar (60
persen) berada pada Indonesia
bagian Tengah dan Timur. Makanya, sangat jelas jika arah kebijakan adalah
pemerataan dan perluasan pembangunan perlu difokuskan pada pembangunan
daerah-daerah tertinggal, sehingga kesenjangan antar wilayah dapat direduksi
secara perlahan.
Dari total anggaran belanja pemerintah pusat
sebesar Rp954,1 triliun dengan komposisi terdiri dari belanja pegawai sebesar
Rp215 triliun (22,5 persen), subsidi Rp208 triliun ( 21,8 persen), belanja
modal Rp168,1 triliun (17,6 persen), belanja barang Rp138 triliun (14,4
persen), pembayaran utang Rp 123,7 triliun (13 persen), dan belanja lain-lain
Rp 100,4 triliun (10,5 persen). Besarnya lonjakan belanja rutin pegawai
menjadi sorotan dari tahun ke tahun yang berpotensi mereduksi program reformasi
birokrasi yang tengah digalakkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2.
Struktur anggaran yang terbebani dengan anggaran belanja pegawai tentunya dapat
berakibat pada semakin sulitnya mengedepankan program-program pemerataan dan
perluasan pembangunan ekonomi.
Membengkaknya anggaran belanja pegawai
setidaknya tidak akan menjadi masalah besar apabila struktur penyelenggara
negara dapat berjalan optimal dan efektif. Namun sebaliknya, akan menjadi
masalah besar (liability) apabila struktur tersebut hanya dijadikan ajang
transaksi politik dan mengamankan kekuasaan. Pemerintah saat ini memliki 34
kementerian dan 3 lembaga setingkat kementerian, 88 lembaga non-struktural, 28
lembaga non-kementerian ditambah berbagai satuan tugas yang dibentuk (walau
bersifat ad hoc). Jumlah kementerian ini relatif lebih besar jika dibandingkan
dengan negara-negara besar, seperti Jepang (11), AS (15), Rusia (20), dan
Brasil (24), atau bahkan jika dibandingkan dengan negara sosialis seperti China
(29).
Gemuknya struktur penyelenggaran pemerintahan
tentunya tidak hanya berdampak pada tingginya belanja rutin pegawai (belum lagi
persoalan dana pensiun yang akan dihadapi kemudian hari), tidak efisiennya
penyelenggaraan pemerintahan, juga akan semakin mempertegas Indonesia sebagai negara high cost
economy. Dan yang mengkawatirkan adalah bongsornya tatanan penyelenggara negara
akan berpotensi pada semakin biasnya arah kebijakan atau semakin tidak fokusnya
kebijakan-kebijakan yang diambil di masa mendatang.
Untuk menyukseskan program reformasi birokrasi
yang tidak sekadar memperbaiki remunerasi pegawai tetapi juga perlu upaya
merasionalisasi struktur dan organ penyelenggara pemerintahan yang berlebihan
dan sangat tidak efisien. Reformasi birokrasi bukan sekadar program insidentil
yang hanya menyelesaikan persoalan di permukaan saja, tetapi harus didorong
untuk lebih pada perbaikan tatanan lembaga penyelenggara negara yang efektif
dan efisien.
Ø
Asumsi Makro RAPBN 2012
"Pertumbuhan
ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah serta suku bunga SPN 3 bulan untuk
RAPBN 2011 akhirnya telah diputuskan," tutur Wakil Ketua Komisi XI DPR RI,
Harry Azhar Azis dalam rapat kerja dengan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) di
Gedung DPR, Kamis (15/9).
Adapun asumsi makro RAPBN 2012 tersebut adalah
pertumbuhan ekonomi 6,7%, inflasi 5,3%, nilai tukar Rp 8.800 per dolar AS, dan
suku bunga SPN 3 bulan 6,4%.
Pengesahan asumsi tersebut diiringi catatan dari
beberapa fraksi-fraksi, diantaranya Fraksi PDIP yang menyatakan bahwa suku
bunga SPN 3 bulan bisa ditekan ke arah 6%.
Sementara tiga fraksi yaitu Fraksi Partai
Golkar, PDI dan Hanura memberikan catatan khusus untuk pertumbuhan ekonomi
dimana tingkat pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7%.
Untuk kemiskinan, pada 2012 ditargetkan mencapai
10,5%-11,5%. "Disepakati pula setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap
450.000 tenaga kerja dan tingkat pengangguran terbuka berada di 6,4%-6,6%,"
tuturnya.
Menurut Fraksi PDIP, target kemiskinan harus
diberi catatan bahwa seharusnya setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap
475.000 tenaga kerja.
"PDIP berpendapat tingkat pengangguran
terbuka sebesar 6,2% dengan kondisi alokasi peningkatan pertumbuhan di sektor
pertanian. Untuk PKS angka kemiskinan diberikan catatan bisa ditekan
10-11%," lanjutnya.
Sedangkan untuk tax ratio ditargetkan sebesar
13%. Pemerintah optimis dapat mengejar seluruh target sesuai RAPBN 2012.
"Sudah disepakati semua, pada dasarnya pemerintah akan mengejar seluruh
target sesuai dengan apa yang disepakati," jelasnya.
SUMBER :
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1774940/inilah-asumsi-makro-rapbn-2012