Kamis, 12 April 2012

DAMPAK INFLASI dan RESESI PADA PEREKONOMIAN INDONESIA


BAB I


PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Dari angka – angka pendapatan nasiolal Indonesia dapat di lihat dengan jelas bahwa sejak tahun 1968 perekonomian kita mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Tapi dari angka – angka yang ada, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, menjadi nyata pula bahwa perkembangan tersebut tidak selalu kontinu atau stabil. Sering kali dunia ekonomi “mau lari terlalu cepat”, sehingga harga – harga naik dan terjadi inflasi. Tetapi sering juga kegiatan ekonomi justru kurang sejalan dengan kebutuhan atau mengalami kemunduran, bahkan kemacetan, dan orang bicara tentang stagnasi atau resesi.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat, tetapi sekaligus menjaga kestabilan ekonomi, pemerinyah yang bertugas mengendalikan serta mengarahkan kegiatan ekonomi nasional menuju cita – cita bangsa kita: pertumbuhan – pertumbuhan, kestabilan, dan pemerataan. Untuk itu senjata di tangan pemerintah adalah economic policy, yaitu kebijakan pemerintah, baik melalui pengaturan keuangan Negara.

Bila kita mempelajari sejarah perkembangan ekonomi di berbagai Negara, segera akan kelihatan bahwa kegiatan ekonomi modern jarang dalam keadaan stabil untuk jangka waktu yang agak lama. Ada masa – masa di mana kegiatan ekonomi berkembang dengan cepatnya, di mana produksi bertambah, pendapatan masyarakat naik dan mencari pekerjaan mudah. Tetapi masa – masa di mana semuanya terasa macet; produksi merosot, pendapatan masyarakat berkurang dan pengangguran bertambah.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Inflasi dan Resesi
2.      Apa itu Konjungtur
3.      Akibat Resesi di Indonesia
4.      Jenis – jenis Inflasi
5.      Penyebab terjadinya Inflasi
6.      Masalah Inflasi yang ditinjau dari segi Permintaan

C.    Tujuan Masalah

1.      Menjelaskan pengertian Inflasi dan Resesi
2.      Menjelaskan Konjungtur
3.      Menjelaskan akibat – akibat resesi di Indonesia
4.      Mengetahui jenis – jenis Inflasi
5.      Mengetahui penyebab terjadinya Inflasi
6.      Menjelaskan masalah – masalah Inflasi dari segi Permintaan
BAB II

ISI

1.      Resesi dan Inflasi

Apasih Resesi dan Inflasi itu?
Dikatakan Resesi (kelesuan) apabila; kegiatan ekonomi itu seret, produksi merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil produksi kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada. Dan, kalau kemerosotan itu sudah cukup parah, disebut depresi. Sedangkan Inflasi, yaitu kalau perekonomian nasional “mau lari terlalu cepat” sehingga kapasitas produksi tidak dapat melayani permintaan masyarakat dan harga – harga naik; ibaratnya seperi penderita tekanan darah.

            Kedua masalah itu dapat ditangani dengan kebijakan ekonoi yang tepat. Tetapi, dewasa ini kedua masalah itu suka muncul bersamaan, sehingga orang bicara tentang stagflasi (stagnasi + inflasi). Dalam hal ini menjadi lebih sulit untuk mengatasinya, karena usaha menangani masalah yang satu, justru memunculkan masalah yang lain. Maka diperlukan kebijakan ekonomi yang dapat mengatasi resesi tanpa menimbulkan inflasi, dan sekaligus menjaga jangan sampai usaha mengendalikan inflasi mematikan laju pertumbuhan ekonomi yang sehat dan seimbang.

2.      Konjungtor

Dalam pertumbuhan perekonomian suatu bangsa maupun perekonomian dunia masa – masa kemajuan / pertumbuhan silih berganti dengan masa – masa kemunduran / kemerosotan. Dalam ekonomi, pasang surutnya kegiatan ekonomi ini disebut gelombang konjungtor (business fluctuations atau business cycles). Pada tahun 1930-an, para ahli ekonomi mulai mempelajari gejala naik turunnya kegiatan ekonomi tersebut, dan mencari jalan bagaimana dapat diatasi atau tidak diredakan.

·         GELOMBANG KONJUNGTOR
Kegiatan ekonomi tidak stabil atau kontinu melainkan bergelombang (lihat Gambar 1). Pasang – surutnya kegiatan ekonomi nasional secara keseluruhan ini disebut gelombang konjuntor. Istilah gelombang menunjukkan gejala naik – turunnya kegiatan ekonomi (produksi, perdagangan, investasi, konsumsi, jumlah uang/kredit, tingkat harga, kesempatan kerja, volume ekspor – impor, dsb) secara berulang – ulang dengan suatu urutan atau pola tertentu.



Menurut hasil penelitian para ahli statistik ekonomi, kebanyakan gelombang konjungtur berlangsung sekitar 3 – 4 tahun. Tetapi para ahli menunjukan pula bahwa ada gelombang yang berlangsung lama: sampai sekitar 8 – 10 tahun, bahkan ada yang 15 – 15 tahun. Setiap gelombang mempunyai ciri – cirinya sendiri: tak ada dua gelombang konjungtur yang tepat sama. Namun semua gelombang menunjukkan suatu pola dasar yang sama. Satu gelombang (satu cycle) biasanya dibagi dalam empat tahap:

1)      Tahap ekspansi (prosperity), yaitu tahap kegiatan ekonomi dalam perkembangan / pertumbuhan yang cepat sampai tercapai puncak kegiatan (sering juga disebut masa “boom” atau “hausse”). Tetapi setelah beberapa waktu mulai timbul kemacetan – kemacetan dan hambatan – hambatan, yang akhirnya menyebabkan situasi berubah / berbalik menjadi kemunduran. Titik balik (atas) disebut krisis.

2)      Resesi atau kelesuan. Semula kemacetan – kemacetan yang timbul menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi terhenti (stagnasi) dan /atau mundur sedikit. Kalau kelesuan itu berlangsung lama dan hebat, di mana semua sektpr ekonomi ikut ketularan, kelesuan menjadi kemerosotan.

3)      Depresi atau kemerosotan, di mana produksi berkurang, banyak pabrik ditutup dan banyak terjadi pengangguran. Keadaan ini juga disebut baisse atau “konjungtur rendah”. Tetapi akhirnya keadaan berubah lagi (titik balik bawah), dan mulailah tahap berikut:

4)      Pemilihan (revival atau recovery), kalau kegiatan ekonomi nasional mulai normal kembali
 a.      Ekspansi = Kegiatan Ekonomi Cepat

Karena dorongan dari salah satu “strater”, kegiatan ekonomi meningkat.para produsen bekerja dengan kapasitas penuh dan usahanya. Tingkat investasi tinggi dan banyak pengusaha yang minat kredit bank. Jumlah uang dan kredit bertambah, dan kurs saham di bursa mulai naik. Pandangan dunia bisnis menjadi optimis sekali. Tingkat upah/gaji mulai ikut naik tetapi tidak secepat kenaikkan laba. Ini yang disebut konjungtor tinggi (hausse).
Tetapi lama – kelamaan mulai timbul ketegangan – ketegangan. Kredit bank pada suatu saat harus dilunasi; tingkat harga mulai naik dan harga dasar naik (berarti biaya produksi naik pula). Tingkat harga yang tinggi menyebabkan upah – gaji harus dinaikkan pula. Ekspansi terhenti supply menyebabkan harga cenderung turun sedsngkan biaya produksi meningkat.

b.      Resesi = Kelesuan

Kegiatan ekonomi mulai mundur, setidak – tidaknya sudah tidak mundur. Ada perusahaan yang macet/rugi, terutama di sektor industri dasar. Penjualan tidak bertambah lagi atau bahkan berkurang. Kurs saham di bursa mulai turun. Harga beberapa jenis barang mulai merosot. Kenaikkan biaya produksi sudah tidak diimbangi oleh kenaikkan jumlah penjualan. Kredit – kredit bank harus dilunasi dan pinjaman baru tidak dilayani. Kegiatan ekonomi mulai mundur, dan pandangan para pengusaha mulai suram” (pesimis) terutama harapan untuk mendapatkan laba. Pendapatan nasional tidak bertambah lagi, bahkan merosot beberapa persen.

c.       Depresi = Kemerosotan

Kegiatan ekonomi semakin merosot (lebih daripada beberapa persen saja). Banyak perusahaan tutup karena rugi, dan pengangguran bertambah. Karena pendapatan masyarakat berkurang, permintaan masyarakat sedikit, sehingga penjualan hanya sedikit. Harga barang merosot, dan pandangan para pengusaha menjadi pesimis sekali. Ini yang disebut konjungtur rendah atau baisse.

d.      Recovery atau Pemulihan

Lama – kelamaan persediaan barang mulai menipis, sehingga ada dorongan untuk menghidupkan kembali kegiatan produksi. Dengan demikian pengangguran berkurang. Juga mulai ada investasi lagi untuk menggantikan alat – alat produksi yang usut/aus. Penjualan mulai bertambah lagi, dan harga – harga naik sedikit. Pandangan dunia bisnis menjadi lebih optimis lagi, dan ada lagi pengusaha yang mulai dengan usaha – usaha baru. Kehidupan ekonomi mulai normal kembali.

3.      Akibat Resesi

Gejala kongjuntur terutama dirasakan di negara – negara industri yang menganut sistem ekonoi bebas atau mixed. Ini disebabkan karena reaksi dunia bisnis lebih cepat dan sensitif, sedangkan permintaan masyarakatlebih elastis. Tetapi, Indonesia juga merasakan akibat – akibatnya, apabila di luar negeri terjadi resesi. Misalnya, pada tahun 1979-1980 perekonomian dunia mengalami resesi yang melalui impor – ekspor, jelas ini mempengaruhi situasi ekonomi dalam negeri.

Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia hádala:

·   Harga minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan cenderung turun

·   Banyak komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi, tapioka, rotan,  bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya. Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di luar negeri.
( keadaan kronologi sejak 1983 )

Resesi duia masih berkelanjutan, baik di Amerika maupun Eropa dan Jepang. Akibat permintaan akan barang – barang ekspor Indonesia tidak meningkat, bahkan merosot.

·   Tingkat bunga di Amerika tinggi. Akibatnya dolar lari ke Amerika; kedudukan $ meningkat dibandingkan dengan rupiah (Rp). Disamping menimbulkan spekulasi terhadap kemungkinan devaluasi rupiah, ekspor Indonesia menjadi lebih berat bersaing di pasar luar negeri.

·   Merosotnya harga minyak merupakan pukulan berat bagi perekonomian Indonesia – dana untuk pembangunan, yang dulu diabil dari penerimaan migas, sangat merosot.

·   Ekspor nonmigas juga terpukul, tidak meningkat seperti di harapkan – belum bisa untuk mengimbangi kerugian dari kemerosotan harga minyak.

·   Cabang – cabang industri dalam negeri yang terpukul antara lain tekstil, otomotif, elektronika, bangunan/konstruksi.

4.      Inflasi

Inflasi dalam arti “kenaikan harga umum” rupa – rupanya sudah menjadi gejala yang biasa dalam masyarakat modern. Sejak dulu gejala inflasi dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar.
Sejak dulu gejala inflasi dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar. Kalau jumlah uang (M) bertambah (cateris paribus) jadi V konstan dan T juga konstan, maka harga – harga (P) akan naik. Tetapi mengapa M akan naik? Lagi pula masih ada pertanyaan, apakah sudah pasti harga – harga naik sebagai akibat adanya pertambahan M. Atau mungkin sebaliknya: oleh karena itu, harga – harga sudah naik (karena sebab lain), maka jumlah uang atau M harus disesuaikan. Jadi, bukan kenaikan M yang menyebabkan kenaikan P, tetapi sebaliknya kenaikan P menyebabkan kenaikan M.

·   Terganggunya Keseimbangan Arus Uang dan Arus Barang

Untuk lebih mengerti masalah inflasi yang sangat aktual ini, kita berpangkal dari pengertian keseimbangan antara arus barang dan arus uang. 
Kalau semuanya itu berjalan dengan lancar dan ada kecocokan maka keadaan ekonomi nasional di katakan dalam keadaan seimbang:

Ø      Produksi berjalan lancar dan melayani kebutuhan/permintaan masyarakat, sambil memberikan kesempatan kerja

Ø      Hasil produksi terjual sama dengan apa yang di beli oleh masyarakat (tak terlalu banyak dan tak terlalu sedikit ) dengan harga yang tidak terlalu mahal/murah

Ø      Jumlah uang beredar tepat cukup untuk melayani kebutuhan ekonomi

Ø      Tanda kecocokan yang jelas: harga – harga stabil

Kenyataan harga – harga tidak selalu stabil: mungkin terjadi inflasi, mungkin juga resesi, bahkan bisa jadi stagnasi. Ketidakstabilan harga – harga ini merupakan suatu tanda bahwa tidak ada kecocokan antara arus barang dan arus uang, antara produksi dan pembelanjaan masyarakat, antara supply dan demand.
Tergantungnya keseimbangan antara arus uang dan arus barang ini dapat berasal dari tiga segi:

Ø      Segi produksi atau arus barang (segi suply). Misalnya: karena panen gagal, ada ham/banjir/bencana alam, kemacetan transportasi, perubahan teknik produksi dsb. Segi permintaan (demand): kelebihan (atau kekurangan) permintaan masyarakat, misalnya karena adanya perubahan selera konsumen atau mode (C), perubahan tingkat investasi akibat perkembangan teknologi (I), defisit APBN (G), ekspor lebih besar (atau lebih kecil) dari impor (Xn), atau pandangan para pengusaha yang optimis (atau pesimis). Ini semua mempengaruhi permintaan dan pembelanjaan masyarakat (terutama tingkat I dan G).

Ø      Segi harga. Misalnya, karena kenaikkan PGPS yang disusul oleh kenaikan harga dan upah. Mungkin juga karena kenaikan harga bahan, misalnya karena OPEC menaikkan harga minyak tanah atau karena kenaikan/penurunan harga barang impor. Bisa juga karena perubahan kurs valuta asing (seperti perubahan kurs dolar), yang ikut mempengaruhi harga semua barang impor.

Ø      Segi uang. Misalnya, karena ekspansi jumlah uang dan kredit oleh dunia perbankan lebih cepat dari yang dapat direncanakan oleh masyarakat.

Tabel 1.1 : Perbandingan antara laju Inflasi dan laju Pertambahan Jumlah Uang yang Beredar (1976 – 1979)

Tahun
Laju Inflasi
(% pada akhir tahun)
Laju Pertambahan
Jumlah Uang
(% kenaikan)
1966
650
-
1967
113
134
1968
85
121,1
1969
9,9
61,0
1970
8,9
36,5
1971
2,5
28,2
1972
25,8
47,9
1973
27,3
41,0
1974
33,3
40,1
1975
19,7
33,3
1976
14,2
28,2
1977
11,8
25,2
1978
6,7
24,0
1979
21,7
35,8

Tabel menunjukkan perbandingan antara laju inflasi dan laju pertambahan jumlah unag beredar. Dari angka – angka ini dapat dilihat adanya sekadar kesejajaran. Tetapi tidak jelas adanya hubungan kasual (sebab-akibat) antara kenaikan M dan kenaikan P. Menurut keterangan Bank Indonesia, jumlah uang beredar setiap tahun disesuaikan dengan perkembangan perekonomian kita. Dengan semakin meluasnya pemakaian uang dalam masyarakat, jumlah uang beredear dapat ditambah dengan persen tertentu tanpa menimbulkan bahaya inflasi.

·   Jenis – jenis Inflasi

Atas dasar keterangan di atas (serta teori – teori yang mencoba menjelaskan terjadinya gangguan keseimbangan tersebut) dewasa ini dibedakan paling sedikit tiga sumber inflasi, dan demikian juga tiga jenis inflasi:

1)      Inflasi yang disebabkan karena kelebihan permintaan efektif: pembelanjaan masyarakat (C + I + G + Xn) terlalu besar (atau naik terlalu cepat), sehingga tidak dapat dilayani oleh kapasitas produksi. Inflasi yang timbul karena kelebihan permintaan masyarakat ini disebut demand-pull inflation. Masyarakat konsumen, para produsen, pemerintah, dan luar negeri bersama – sama mau membeli lebih banyak barang dan jasa dari yang dapat disediakan oleh kapasitas produksi yang ada. Karena permintaan yang berlebih itu, keseimbangan antara supply dan demand terganggu, sehingga harga – harga naik. Permintaan masyarakat ini di dukung oleh dunia perbankan, tetapi dapat juga dari uang tabungan yang ”diaktifkan kembali” tanpa adanya tambahan uang oleh duni bank.

2)      Inflasi yang disebabkan karena kenaikan biaya produksi. Jenis inflasi ini disebut cost-push infaltion. Kenaikkan biaya produksi mendorong harga ke atas. Jenis inflasi ini dibedakan atas:

·         Inflasi karena kenaikan harga bahan baku, misalnya minyak tanah

·         Inflasi karena kenaikan gaji/upah. Misalnya: karena kenaikan gaji pegawai negeri, yang diikuti oleh usaha – usaha swasta pula, maka harga – harga lainnya ikut naik.

Jenis inflasi ini merupakan jenis yang paling ditakuti, karena menimbulkan “spiral upah-harga”: karena upah naik, harga naik, dan karena harga naik, upah harus dinaikkan; demikian seterusnya.

3)      Inflasi karena ketularan dari luar negeri. Jenis inflasi ini banyak dialami oleh negara – negara sedang berkembang yang sebagian besar dari usaha produksinya di semua sektor mempergunakan bahan dan alat dari luar negeri. Misalnya: inflasi yang ada di Jepang terpaksa diimpor ke Indonesia, karena harga bahan cat, bahan foto, kendaraan dan bahan apa saja yang berasal dari sana menggendong inflasi itu. Jenis inflasi ini dapat disebut imported inflation (meskipun dapat juga disolongkan pada jenis kedua di atas tadi)
Repotnya dengan inflasi ialah, bahwa ketiga jenis inflasi tersebut biasanya saling mendorong dan saling memperkuat. Sekali orang menyadari adanya inflasi, mereka akan bertindak sedemikian rupa hingga justru memperkuat inflasi yang sudah ada.

·         Karena harga – harga naik, para pedagang cenderung menyimpan barangnya menunggu sampai harga naik lebih tinggi lagi. Ini menyebabkan peredaran barang berkurang sehingga barang – barang naik.

·         Karena harga – harga naik, para pengusaha akan mengikuti gerakan harga dan berusaha mempertahankan/meningkatkan pendapatan dan labanya dengan menaikkan harga jualnya.
·         Karena harga – harga naik, masyarakat cenderung segera membeli barang (sebelum harga naik lagi), sehingga permintaan akan barang naik dan harga – harga justru akan naik lagi.

·         Karena kaitan antara barang yang satu dengan yang lain, kenaikan harga barang yang satu akan mendorong harga barang – barang lain ke atas pula.

5.      Penyebab terjadinya Inflasi

Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa inflasi yang lunak dapat merangsang bisnis sektor untuk memperluas produksinya, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja. Namun, kalau tidak hati – hati inflasi yang lunak pun dapat berubah menjadi inflasi yang lebih hebat. Dalam inflasi, masyarakat cenderung enggan menabung, dan juga enggan pegas uang kas/tunai, sebab nilai riil uang terus merosot. Masyarakat cenderung lebih suka menyimpang kekayaan dalam bentuk barang. Keadaan demikian akan mendorong timbulnya spekulasi perdagangan dan dapat menciptakan inflasi yang jauh lebih hebat (hyper inflation). Selain itu dalam inflasi terjadi kenaukkan harga – harga umum, namun kenaikan harga itu tidak selalu searah dengan intensitas yang sama – adanya kenaikan harga umum juga akan menyebabkan harga barang ekspor menjadi mahal, sehingga barang ekspor akan menjadi sulit bersaing di pasar Internasional-inflasi akan menyebabkan nilai riil setiap satuan uang merosot, sehingga mereka yang berpendapatan tetap (nilai nominalnya), daya belinya terus merosot. Demikian pula mereka yam\ng meminjamkan uang akan sangat dirugikan. Sebab pada saat jatuh tempo mereka akan menerima uang uang mereka dengan nilai riil lebih rendah – dalam inflasi kenaikan harga barang berjalan dengan intensitas yang sama akan menguntungkan pihak – pihak yang memiliki faktor produksi ataupun barang dan jasa yang mengalami intensitas kenaikkan paling tinggi. Sebab, mereka akan menikmati capital gain (keuntungan yang didapat karena adanya kenaikkan harga) yang paling tinggi. Dalam keadaan inflasi mereka yang mempunyai kekayaan lebih banyak jauh lebih bisa bertahan dari mereka yang miskin. Orang mengatakan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin (secara relatif paling tidak). Dengan demikian inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan di antara masyarakat dan menjauhkan tercapainya keadilan yang dicita – citakan.

6.      Masalah Inflasi yang Ditinjau dari Segi Permintaan

Dalam konfrontasi antara apa/berapa yang ingin dicapai (segi demand) dan apa/berapa yang dapat dihasilkan (segi supply) dalam teori Keynes pada dasarnya ada tiga kemungkinan:

a.       Permintaan masyarakat tepat sesuai dengan kapasitas produksi, sehingga seluruh tebaga kerja dipekerjakan: tak ada pengangguran dan juga tak ada inflasi. Ini keadaan seimbang yang dicita – citakan.

b.      Permintaan masyarakat kurang dari yang diperlukan untuk mempekerjakan seluruh faktor produksi. Dalam situasi ini akan ada pengangguran.
c.       Permintaan masyarakat lebih besar daripada yang dapat dilayani dengan kapasitas produksi yang ada. Dalam hal ini akan terjadi inflasi.

6.1  Kekurangan Permintaan Efektif

Apabila permintaan masyarakat akan suatu barang dan jasa (C + I + G +Xn) kurang dari potensi GNP, sehingga hasil produksi tidak laku terjual, para produsen akan menderita rugi dan cenderung memperkecil produksinya, mungkin dengan melepaskan tenaga kerja yang tidak dibutuhkan lagi. Alhasil produksi nasional sesuai (disesuaikan!!) dengan permintaan masyarakat, sehingga memang ada suatu “keseimbangan” antara permintaan dan penawaran, tetapi bukan keseimbangan yang “baik” karena ada pengangguran. Karena permintaan masyarakat terlalu kecil dibandingkan dengan kapasitas, maka hasil produksi juga kurang dari yang sebenarnya dapat dihasilkan (dengan istilah teknis: actual GNP kurang dari potential GNP) dengan terpaksa masih ada faktor produksi (tenaga kerja manusia) yang menganggur, tidak karena adanya kesulitan pada pihak produsen, melainkan karena kekurangn permintaan masyarakat.

6.2  Kelebihan Permintaan Efektif

Dewasa ini situasi kerap kali lain: bukan kekurangan melainkan kelebihan permintaan efektif. Para konsumen, produsen, pemerintah, dan luar negeri bersama – sama mau membeli lebih banyak dari yang dapat dihasilkan dengan kapasitas produksi yang ada. (Dengan istilah teknis: permintaan efektif lebih besar dari potential GNP). Ini yang menyebabkan ketegangan – ketegangan dipasaran, sehingga harga – harga naik. Karena produksi tak bisa naik (dibatasi oleh kapasitas produksi), akibatnya adalah inflasi. Dalam keadaan demikian tidak ada pengangguran, tetapi juga tidak ada ekuilibrium antara supply dan demand.

6.3  Menjaga Keseimbangan

Untuk menjaga keseimbangan yang “baik” dan stabil, tanpa inflasi dan tanpa pengangguran, seninya adalah bagaimana mengatur permintaan masyarakat sedemikian rupa sehingga tepat sesuai dengan kapasitas produksi, tidak kekurangan dan tidak berlebihan.
Selama effective demand kurang dari potential GNP, pembelanjaan masyarakat harus ditambah, tetapi apabila effective demand lebih besar dari potential GNP, pembelanjaan total harus diperkecil. Ini mudah dikatakan, tetapi pelaksanaannya amat sulit, sebab kapasitas produksi nasional (dan demikian pula potential GNP) juga selalu berubah – ubah.

6.4  Keseibangan Moneter

Sampai sekarang peranan uang/kredit belum ditonjolkan. Memang cara berfikir Keysian lebih memperhatikan apa yang terjadi dengan produksi dan konsumsi, investasi dan kesempatan kerja, tanpa banyak mempersoalkan dari mana para produsen mendapatkan uang/kredit untuk membiayai rencana – rencana investasinya. Uang atau kredit yang diperlakukan untuk itu tentu akan disediakn oleh dunia perbankan sesuai dengan kebutuhan.
Para ahli mengemukakan pengertian “Keseimbangan Moneter”, yaitu keseimbangan antara permintaan uang/kredit (oleh masyarakat) dan penawaran uang (oleh dunia perbankan) sedemikian rupa hingga jumlah uang beredar (money supply) tepat cukup untuk melayani permintaan efektif masyarakat.selanjutnya permintaan efektif masyarakat harus tepat cocok dengan kapasitas produksi, tanpa inflasi atau pengangguran (ekuilbrium pembelanjaan).

6.5  Keadaan Perekonomian Indonesia

Buku karangan Keynes mempunyai pengaruh mendalam terhadap seluruh cara berfikir ilmu ekonomi modern. Tetap ini tidak berarti bahwa ”resep – resepnya” begitu saja dapat diterapkan di mana - mana laksana obat mujarab yang menyembuhkan segala penyakit. Karena situasi yang dipersoalkan Keynes lain dari situasi di Indonesia.
Situasi yang semula dihadapi Keynes adalah keadaan depresi di Eropa dan Amerika. Di sana pabrik – pabrik sudah ada, tenaga kerja yang ahli ada, prasarana produksi seperti jalan dan jalur komunikasi ada, bank – bank juga ada – Cuma  semuanya macet karena kekurangan perintaan efektif. Maka tindakan pemerintah untuk menambah efektif demand – seperti yang disarankan Keynes – dapat segera berhasil meningkatkan produksi tanpa bahaya menimbulkan inflasi.
Situasi demikian itu tidak boleh disamakan dengan situasi di Indonesia dan negara – negara berkembang lainnya. Produksio kita masih rendah, tidak hanya / terutama karena kekurangan permintaan masyarakat (segi demand) melainkan karena kelemahan struktural (segi supply): kurang keahlian, kurang orasarana, kurang industri dsb. Demikian pula sifat pengangguran berbeda: pengangguran di Indonesia tidak pertama – tama bersifat “konjungtural” (karena kekurangan/fluktuasi dalam permintaan efektif) melainkan “struktural” (karena memang kekurangan kesempatan kerja). Situasi demikian ini tidak bisa ditangani dengan cara “asal menambah permintaan efektif” saja. Sebab setiap tambahan permintaab efektif (entah dari keuangan negara, dari ekspor atau dari ekspansi kredit bank) segara mengandung bahaya kenaikan harga: tidak karena pertambahan produksi (output) tertinggal / kalah cepat dengan penambahan demand itu, atau karena adanya bottlenecks di sektor produksi.
BAB III

KESIMPULAN


            Dalam makalah ini, yang berjudul “Dampak Inflasi dan Resesi pada  Perekonomian Indonesia” kita dapat membedakan pengertian dari Resesi dan Inflasi. Resesi adalah kegiatan ekonomi itu seret, produksi merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil produksi kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada. Dan, kalau kemerosotan itu sudah cukup parah, disebut depresi. Sedangkan Inflasi, yaitu kalau perekonomian nasional “mau lari terlalu cepat” sehingga kapasitas produksi tidak dapat melayani permintaan masyarakat dan harga – harga naik; ibaratnya seperi penderita tekanan darah.

            Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia ádalah:

·         Harga minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan cenderung turun

·         Banyak komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi, tapioka, rotan,  bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya. Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di luar negeri.

            Jenis – jenis Inflasi :

·         Inflasi yang disebabkan karena kelebihan permintaan efektif

·         Inflasi yang disebabkan karena kenaikan biaya produksi

·         Inflasi karena ketularan dari luar negeri
  

DAFTAR PUSTAKA

Sukirno, Sadono. “Masalah – masalah Pokok Makroekonomi: Pengangguran, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi” dalam Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Bima Grafika, 1981, hlm. 165-178.

Winardi. “Masalah Inflasi” dalam Pengantar Ilmu Ekonomi Teoretika Modern, jilid 1. Bandung: Trasito, 1985, hlm. 208-460.

Poli, Carla, Dra. “Inflasi dan Resesi” dalam Pengantar Ilmu Ekonomi I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1992, hlm. 267


Rabu, 11 April 2012

TUGAS 1, 2 dan 3


TUGAS 1
1. Seberapa besar peranan kurs valuta asing berpengaruh pada Perekonomian Indonesia.?


PENGERTIAN KURS VALUTA ASING
            Valuta Asing adalah pertukaran mata uang suatu negara terhadap negara lainnya, sedangkan Kurs adalah jumlah satuan mata uang yang harus diserahkan untuk mendapatkan satuan mata uang asing. Jadi, KURS VALUTA ASING adalah nilai pertukaran mata uang suatu negara terhadap mata uang ainnya.
PENENTUAN KURS VALUTA ASING
Pada dasarnya ada tiga sistem atau cara untuk menentukan tinggi-rendahnya kurs atau nilai tukar valuta asing:
Kurs Tetap; karena dikaitkan dengan emas sebagai standard atau patokannya.
Kurs Bebas; yang dibentuk oleh permintaan dan penawaran valuta asing di pasaran bebas, lepas dari kaitan dengan emas. Dalam hal ini kurs naik-turun denagn bebas. Dewasa ini orang bicara tentang kurs mengambang (floating rates)
Kurs dibuat Stabil; berdasarkan perjanjian internasional yaitu ditetapkan oleh pemerintah/bank sentral dalam perbandingan tertentu dengan dollar atau emas sebagai patokan.
Perubahan nilai kurs valuta asing umumnya berupa:
Apresiasi atau depresiasi; yaitu naik atau turunnya nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang asing yang sepenuhnya tergantung pada kekuatan pasar (permintaan dan penawaran valuta asing) baik dalam negeri maupun luar negeri.
Devaluasi atau revaluasi;yaitu naik atau turunnya nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang asing dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Turunnya nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang asing yang terjadi harian (depresiasi) sebenarnya mempunyai pengertian sebagaimana devaluasi, tetapi karena perubahan tersebut sangat kecil maka tidak dirsakan sebagai devaluasi. Yang dianggap devaluasi adalah penurunan nilai mata uang suatu negara terhadap uang asing yang dinyatakan secara resmi oleh pemerintah, dilakukan karena secara mendadak, dan adanya perbedaan selisih kurs yang besar antara sebelum dan sesudah devaluasi. Hal ini berlaku bjiga untuk apresiasi dan revaluasi.
PIHAK PIHAK YANG MEMBUTUHKAN VALUTA ASING
·         Oraang Indonesiayang akan berkunjung ke luar negeri
·         Orang Indonesia yang membiayai anggota keluarganya yang tinggal di luar negeri
·         Para importir Indonesia yang hendak membayar harga barang yang dibeli dari luar negeri
·         Para investor Indonesia yang akan membayar kewajiban-kewajibannya kepada orang di luar negeri
·         Pemerintah/orang-orang Indonesia yang akan membayar utang atau bunga ke luar negeri
·         Perusahaan-perusahaan asing di Indonesia yang akan membayar dividen kepada para pemegang saham di luar negeri
·         Pedagang valas yang ingin berspekulasi terkait dengan naik turunnya nilai valuta asing untuk mendapatkan keuntungan.
FUNGSI PASAR TERHADAP KURS VALUTA ASING
·         Mentransfer daya beli
·         Memudahkan transaksi perdagangan internasional
·         Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menghindari naik turunnya kurs valuta asing
·         Memperluas lapangan pekerjaan 
Dari pembahasan di atas, kesimpulannya adalah peran valuta asing terhadap perekonomian di Indonesia sangatlah penting. Karena valuta asing merupakan alat pembayaran antar Negara. Barang dan jasa yang di impor itu harus dibaya. Untuk pembayaran itu diperlukan valuta asing atau devisa, yaitu valuta yang mau diterima oleh dunia internacional. Devisa itu kita peroles dari hasil ekspor atau kredit bank luar negeri.
SUMBER : 

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/valuta-asing-dan-kurs-valuta-asing.html
http://www.mudrajad.com/upload/journal_analisis-kurs-valas-box-jenkins.pdf     
http://astrirhianti93.blogspot.com/2011/04/peran-kurs-valutang-asing-terhadap.html    


2. Bagaimana kebijaksanaan Perekonomian Indonesia selama:
a.       Perekonomian Indonesia pada Periode 1966 – 1969
b.      Periode Pelita I
c.       Periode Pelita II
d.      Periode Pelita III
e.       Periode Pelita IV
f.       Periode Pelita V

a.      Perekonomian Indonesia pada Periode 1966 – 1969
Kebijaksanaan perekonomian Indonesia selama periode 1966 – 1969 ini adalah pembersihan proses-proses kebijakan orde lama yang tidak efisien dan efektif terutama dari faham-faham komunisme.
Titik berat pada periode 1966-1969:
Penurunan tingkat inflasi
Proses produksi yang tidak efektif dan efisien
Penggunaan pendapatan yang lebih efektif dan efisien untuk menunjang proses pembangunan
Kebijakan perekonomian Indonesia selama periode 1966 – 1969
Rencana pembangunan nasional semesta berencana (PNSB) 1961-1969 ini disusun berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dengan azas ekonomi terpimpin.
Faktor yang menghambat atau kelemahannya antara lain:
1)   Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim. Defisit anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyper inflasi.
2)   Kondisi ekonomi dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan karena sikapnya yang konfrontatif.
3)   Sementara di dalam negeri pemerintah selalu mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
Beberapa kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
1)   Dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis dan perkembangan perekonomian Indonesia.
2)   Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di bidang perdagangan dan kepegawaian.
3)   Pokok perhatian diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya perhatian ini diberikan dalam rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).
b.      Periode Pelita I
Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)        

Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.   

• Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.         

• Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.  

• Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.    

Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.           
c.       Periode Pelita II
Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)       

Menitikberatkan pada sektor pertanian, dengan meningkatkan industri yang mengelola bahan mentah menjadi bahan baku (misal: karet, minyak, kayu, timah). Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja. Fokus pembangunan ini di fokuskan pada pengkreditan untuk mendorong eksportir kecil dan menengah serta mendorong pengusaha kecil atau ekonomi menengah dengan kredit investasi kecil (KIK).
Adapun kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dalam pelita II ini adalah dengan melakukan penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing di pasar dunia. Penggalakan PMA dan PMDN untuk mendorong investasi dalam negeri, yang menghasilakn cadangan devisa naik dari $ 1,8 milyar menjadi $ 2,58 milyar dan naiknya tabungan pemerintah dari Rp 255 milyar menjadi Rp 1.522 milyar pada periode pelita II tersebut. Sedangkan kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan hasil produksi nasional dan daya saing komoditi ekspor karena tingkat rata-rat inflasi 34%, resesi dan krisis dunia tahun 1979, serta penurunan bea masuk impor komoditi bahan dan peningkatan bea masuk komoditi impor lainnya.
Namun dengan adanya pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.
d.      Periode Pelita III
Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pelita III ini menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan, serta menignkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut:
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
e.       Periode Pelita IV
Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Menitikberatkan pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan, serta meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun  industri ringan. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
Adapun contoh dari kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam pelita IV ini adalah sebagai berikut:
Kebijakan Inpres No. 5 tahun 1985, yakni meningkatkan ekspor non migas dan pengurangan biaya tinggi dengan :
a)      Pemberantasan pungli
b)      Mempermudah prosedur kepabeanan
c)      Menghapus dan memberantas biaya siluman
Paket Kebijakan 6 Mei (PAKEM): mendorong sektor swasta dibidang ekspor dan penanaman modal.
Paket Devaluasi 1986 : karena jatuhnya harga minyak dunia yang didukung dengan kebijakan pinjaman luar negeri.
Paket Kebijakan 25 Oktober 1986 : deregulasi bidang perdagangan, moneter, dan penanaman modal dengan cara :
a)      Penurunan bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku
b)      Proteksi produksi yang lebih efisien
c)      Kebijakan penanaman modal
Paket Kebijakan 15 Januari 1987, yakni peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas beberapa sektor industri (menengah ke atas) guna meningkatkan ekspor non migas, adapun langkah-langkahnya:
Penyempurnaan dan penyederhanaan ketentuan impor
Pembebasan dan keringanan bea masuk
Penyempurnaan klasifikasi barang
Paket Kebijakan 24 Desember 1987 (PAKDES) adalah restrukturisasi bidang ekonomi dalam rangka memperlancar perijinan (deregulasi).
Paket 27 Oktober 1988 : kebijakan deregulasi untuk menggairahkan pasar modal dan menghimpun dana masyarakat untuk biaya pembangunan.
Paket Kebijakan 21 November 1988 (PAKNOV) yakni deregulasi dan debirokratisasi bidang perdagangan dan hubungan laut.
Paket Kebijakan 20 Desember 1988 (PAKDES), yakni kebijakan dibidang keuangan dengan memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif, juga berisi mengenai deregulasi dalam hal pendirian perusahaan asuransi
f.       Periode Pelita V
Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Menitikberatkan sektor pertanian dan industri untuk menetapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya; dan sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, serta industri yang dapat mengahsilkan mesin mesin industri.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Pengarahan pada pengawasan, pengendalian dan upaya produktif untuk mempersiapkan proses tinggal landas menuju Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, yakni kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Adapun kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di sektor dalam negeri:
1) Kebijakan Moneter
Sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui tingkat bunga.
a) Kebijakan Moneter Kuantitatif
Mengatur  tingkat bunga melalui operasi pasar terbuka melaui SBI, merubah tingkat bunga diskonto, merubah presentase cadangan minimal yang harus dipenuhi oleh setiap bank umum
b) Kebijakan Moneter Kualitatif
Mengatur dan menghimbau pihak bank umum /lembaga keuangan lainnya baik manajemen maupun produk yang ditawarkan untukmendukung kebijakan moneter kuanitatif bank Indonesia
2) Kebijakan Fiskal
Tindakan pemerintah dalam mengatur ekonomi melalui anggaran belanja negara.
Macam-macam kebijakan fiskal dalam ekonomi adalah:
Pajak langsung dan pajak tidak langsung
Pajak regresif, sebanding dan progresif
Penerimaan pemerintah, pengendali tingkat pengeluaran masyarakat
Untuk lebih memeratakan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat.
Adapun kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di sektor luar negeri:
1. Kebijakan Menekan Pengeluaran
Dilakukan dengan cara mengurangi pengeluaran konsumsi.
Cara :
a. Menaikkan pajak pendapatan
b. Menaikkan tingkat bunga
c. Mengurangi pengeluaran pemerintah
2. Kebijakan Memindahkan Pengeluaran
Cara :
Memaksa
a)      Mengenakan tarif dan atau kuota
b)      Mengawasi pemakaian valuta asing
Rangsangan
a)      Ekspor : mengurangi pajak komoditi ekspor, menyederhanakan prosedur ekspor, memberantas pungli dan biaya siluman
b)      Menstabilkan harga dan upah di dalam negeri
c)      Melakukan devaluasi

SUMBER       :
http://anggithdanishaa.blodspot.com/2011/02/perekonomian-indonesia-pada-tahun-1965.html
http://fadilfadilblogspotcom-alpachino.blogspot.com/2011/03/kebijakan-pembangunan-pelita-i-pelita.html




TUGAS 2

Bagaimana Kebijaksanaan Perekonomian Indonesia selama era Reformasi:

Tahapan perkembangan :
Ø      Masa sebelum terjajah ( < tahun 1600 )
Ø      Masa penjajahan ( tahun 1600 – 1945 )
Ø      Masa sebelum 1966/ Orde Lama ( tahun 1945 – 1966 )
Ø      Masa sesudah 1966 ( era Orde Baru )
ERA ORDE LAMA ( 1945 – 1966 )
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa member perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yakni pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintahan Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama decade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya, selama Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastic menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.
Selain tu, selama periode Orde Lam, keiatan paroduksi di sector pertanian dan sector industry manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sngat jelek selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Kebijakan ekonomi paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gukden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia. Pada masa Kabinet Natsir (cabinet pertama dalam Negara kesatuan Republik Indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh cabinet berikutnya merumuskan rencana pembangunan ekonomi lima tahun (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa Kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan system kurs berganda. Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihkan perekonomian Indonesia saat itu diantaranya untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa Kabinet Ami I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan system ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.

Berbeda dengan cabinet-kabinet sebelumya di atas, pada masa Kabinet Ali I, praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960. Kurang aktifnya cabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaa politik di dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari masyarakat daerah-daerah di luar Jawa yang selama itu tidak merasa puas dengan hasil pembangunan di tanah air. Ketidakstabilan politik di dalam negeri semakin membesar pada masa Kabinet Djuanda, sehingga praktis cabinet ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Perhatian sepenuhnya dialihkan selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam negeri juga pada upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa Kabinet Djuanda juga dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
Dilihat dari aspek politiknya selama Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami system politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa system politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu cabinet pemerintah yang solid dan dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi tu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap cabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek dan disertai dengan banyaknya keributan tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah social dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya.
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sector formal / modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sector informal / tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relative lebih padat capital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
Struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas, yang bolehBoeke (1954) disebut dual socities, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peratura-peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang nonpribumi / nonlocal.
Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada decade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal periode ‘Ekonomi Terpimpin’. System politik dan ekonomi pada masa Orde Lama, khususnya setelah ‘Ekonomi Terpimpin’ dicangangkan, semakin dekat dengan haluan / pemikiran sosialis / komunis. Walaupun ideology Indonesia adalah Pancasila, pengaruh ideology komunis dan Negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang memilih haluan politik berbau komunis, hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimprelisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada masa itu, prinsip-prinsip individualism, persaingan bebas, dan perusahaan swasta / pribadi sangat ditentang, karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya, prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dari Negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya pereknomian Indonesia pada masa pemrintahan Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan factor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industry), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957), sejak cabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industry, unifikasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan factor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi Indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politi yang drastic di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi yang dianutu Indonesia pada masa Orde Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke system kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menganut suatu system yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideology Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak system kapitalis, seperti di Amerika Serikat (AS) atau Negara-negara industry maju lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini, terutama setelah krisis ekonomi.
Perekonomian berkembang kurang menggembirakan :
·         Kehidupan politik tidak stabil ( pergantian kabinet )
·         Defisit anggaran belanja negara terus meningkat ( cetak uang baru > inflasi – sejak 1955- )
·         Nasionalisasi perusahaan asing – 1951 / 1958 ( UU No 78 / 1958 tentang Investasi Asing > tutupnya Bursa Efek Jakarta > pelarian kapital )
·         Hilangnya pangsa pasar ( gula, karet alam dll ) dalam perdagangan internasional ( ekspor < 10% PDB > neraca pembayaran tertekan > depresiasi rupiah )
·         Kejanggalan sistem moneter ( Bank merupakan hasil nasionalisasi termasuk BI ( De Javasche bank ), BI ( 1953 ) berfungsi : (1) menstabilkan nilai mata uang (2) mengatur sirkulasi uang (3) mengawasi dan mengembangkan perbankan dan kredit, memasok kredit / premi kepada pemerintah sebesar 30% dari penerimaan pemerintah – 1957/58, sistem pengendalian kurs.
MASA PERALIHAN ( 1966 – 1968 )
Pada  tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Pemerintan Thailan meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merebet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah dalam dolar mulai tertekan terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998, antara bulan Januaru-Februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.
Nilai tukar rupiah terus melemah, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 Triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF.
Pada Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangan pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah juga mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat sehinnga hal itu menjadi awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis politik. Pada awalnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh wakilnya, yakni B.J. Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya tetap saja tidak terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih adanya korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie masyarakat menyebutnya pemerintahan transisi.
Peralihan kepemimpinan akibat pemberontakan PKI.
Ekonomi kacau :
Ketidak-mampuan memenuhi kewajiban utang LN ( >US $ 2milyar )
Penerimaan ekspor hanya setengah dari pengeluaran impor
Ketidak-berdayaan mengendalikan anggaran belanja dan memungut pajak
Laju inflasi tinggi (30-50% perbulan)
Sarana dan prasarana ekonomi yang buruk
Prioritas kebijakan ekonomi:
·         Memerangi inflasi
·         Mencukupkan stok pangan (beras)
·         Merehabilitasi prasarana perekonomian
·         Meningkatkan ekspor
·         Menediakan /menciptakan lapangan kerja
·         Mengundang kembali investasi asing
Dalam jangka pendek, program ekonomi ORde Baru :
·         Tahap penyelamatan (juli-desember 1966)
·         Tahap rehabilitasi (januari-juni 1967)
·         Tahap konsolidasi (juli-desember 1967)
·         Tahap stabilisasi (januari-juni 1968)
ORDE BARU
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan PresidenSoeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.         
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Masa Jabatan Presiden Suharto         
Pada 
1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.          
Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.   
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 
19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.       
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di 
Eropa Timur sering disebutlustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelarMahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).     
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan
Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.          
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar
Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusungAli Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar,TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi. 
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian 
sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.         
Warga Tionghoa Warga keturunan 
Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenianbarongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaianBahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah 
Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.     
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh 
komunismedi Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.   
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti 
radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya sepertiJawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,    terutama ke Kalimantan, Sulawesi,Timor Timur, dan Irian Jaya.             

Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal 
Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

SUMBER       :

http://bahesti.wordpress.com/2011/02/13/280/




http://feliciaapriliani77.blogspot.com/2011/03/sejarah-perekonomian-indonesia-sejak.html



TUGAS 3

Dampak BBM Naik atau Tidak Naik pada Indonesia:
                                                                                                                       

Ø      POLEMIK NAIK atau TIDAKNYA HARGA BBM


Meski revisi APBN-P 2012 sudah disepakati, namun polemik mengenai naik atau tidaknya harga BBM bersubsidi masih belum berakhir.
Sejumlah kalangan baik politisi maupun praktisi hukum yang tidak puas dengan keputusan tersebut mulai mengajukan judisial review terhadap revisi UU No. 22 tahun 2011 tentang APBN-P 2012 yang baru saja disepakati tersebut ke MK.
Apa sebenarnya yang telah terjadi secara politik dan hukum dalam polemik kenaikan harga BBM bersubsidi. Tulisan ini mencoba menguraikan hal tersebut.
Inkonstitusionalitas sebuah Kondisionalitas
Pembahasan Revisi UU N0. 22 tahun 2011 tentang APBN-P yang sudah disepakati tanggal 30 Maret 2012 lalu dalam sidang paripurna DPR selain berpotensi melanggar konsitusi juga mengandung contradictory in substance dalam pasal 7.
Syarat kondisionalitas dalam pasal 7 ayat (6A) yang menyebutkan bahwa  “Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dalam waktu 6 bulan dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P tahun 2012, pemerintah berwenang melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung” secara materil menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hukum.
Pasal 7 ayat (6A) ini juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 atas judicial review pasal 28 ayat (2) UU No 22 tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi.  
Dalam putusan MK tersebut “Harga Minyak dan harga Gas Bumi yang diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha” bertentangan dengan mandat konstitusi pasal 33 UUD 1945karena mendorong liberalisasi pengelolaan minyak dan gas bumi.
Sikap sejumlah partai politik yang mengambangkan opsi kenaikan BBM melalui kondisionalitas sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (6A) selain sangat berkharakter politik pencitraan juga memiliki tiga kelemahan konstitusionalitas.
Pertama, pasal ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah untuk menentukan harga eceran BBM bersubsidi. Hal ini bertentangan dengan semangat pasal 20 UUD 1945 yang memberikan kekuasaan kepada DPR sebagai pembentuk Undang-Undang.
Apalagi hal ini terkait dengan hajat hidup orang banyak. Dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Pasal 7 ayat (6A) revisi UU No. 22 tahun 2011 jelas mencabut fungsi legislasi dan anggaran yang dimiliki oleh DPR dalam menentukan besaran anggaran pendapatan dan belanja negara. Dengan demikian pasal ini berpotensi mengandung unsur inskonstitusionalitas.
Inskonstitusionalitas kedua pasal 7 ayat (6 A) terjadi karena hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 atas judicial review UU No. 22 tahun 2001. Putusan MK yang mengabulkan larangan penentuan harga minyak dan gas bumi berdasarkan mekanisme pasar masih berlaku hingga kini, sehingga kondisionalitas pasal 7 ayat (6 A) tersebut bertentangan dengan putusan MK tersebut.
Masih terkait dengan hal ini, inkonstitusionalitas ketiga juga terjadi karena pasal 7 ayat (6 A) bertentangan dengan semangat pasal 33 ayat (1), (3) dan (4) UUD 1945, karena berpotensi menyebabkan terlanggarnya semangat azas ekonomi kekeluargaan, prinsip penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan prinsip keadilan dan kebersamaan.  Selain itu, pasal 7 ayat (6 A) juga berpotensi menyebabkan pengabaian hak setiap orang atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Selain bertentangan dengan berbagai macam pasal UUD 1945, pasal 7 ayat (6 A) juga mengandung contradictory in substance dengan pasal 7 ayat (6) yang menyebutkan bahwa harga eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Kedua ayat ini yaitu (6) dan (6 A) jelas jelas memberikan ketidakpastian hukum kepada rakyat.
Secara kesuluruhan revisi UU No, 22 tahun 2011 tentang APBN-P jelas mengandung sebuah ketidakpastian yang sangat besar. Hal ini karena semua perencanaan pembangunan dan pelayanan kepada masayarakat harus menunggu bergerak naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.
Hal ini tentu akan menyebabkan kesulitan yang sangat besar dalam persiapan implementasi APBN-P 2011, terutama karena secara teknis lemahnya persiapan bagi program-program kompensasi pengalihan subsidi BBM.
Bukan tidak mungkin program-program kompensasi ini akan dilaksanakan dalam waktu yang terburu-buru, sehingga menimbulkan persoalan korupsi baru dan ketidakefektifan penyerapan anggaran. Jika ini terjadi maka kembali rakyat dirugikan dengan kenaikan harga BBM.
Konsekuensi Politik
Proses pembahasan APBN-P 2012 ini tampaknya memang sangat diwarnai oleh kegamangan dan ketidakjelasan sikap partai politik terhadap prioritas pembangunan nasional. Dapat dikatakan bahwa APBN-P 2012 sebagai instrumen pengarah kebijakan pembangunan nasional tahunan bukan saja tidak memiliki kaitan dengan kebjakan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, tetapi sangat diwarnai oleh politik pencitraan. Kegamangan dan ketidakjelasan sikap politik ini sangat jelas terlihat pada opsi 2 yang akhirnya menghasilkan pasal 7 ayat (6 A), sebuah cermin keragu-raguan dalam proses pembuatan kebijakan.
Dapat pula dikatakan bahwa proses pembahasan APBN-P 2012 ini tidak didasari pada keinginan dan basis intelektualitas yang baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara. Sebuah pasal dalam kebijakan publik dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dimandatkan oleh konstitusi, bukan sebaliknya hanya untuk kepentingan politik parsial tertentu belaka.

Ø      DAMPAK APABILA BBM NAIK:

·         Kemenhub akan Siapkan Subsidi Angkot

Kementerian Perhubungan meminta agar seluruh dinas perhubungan provinsi seluruh Indonesia untuk menyiapkan data angkutan umum terkait rencana pemberian subsidi Rp5 triliun sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.           

“Saya minta kepada seluruh dinas perhubungan provinsi di Tanah Air agar data angkutan umum segera disiapkan, yang berplat kuning dan yang punya izin,” kata Dirjen Perhubungan Darat Suroyo Alimoeso,Rabu, 28 Maret 2012.           

Suroyo menjelaskan identifikasi paling mudah melalui koordinasi dengan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Hal ini terkait dengan data kendaraan yang bayar pajak, kemudian dievaluasi mana kendaraan yang digunakan untuk angkutan umum.

“Kami tidak ingin dana subsidi tidak sampai ke pemilik angkutan umum, jangan sampai terjadi seperti yang lalu-lalu,” ujarnya. 

Suroyo mengaku dalam pemberian subsidi, pemerintah terkendala bagi angkutan umum milik perorangan. Kalau diberikan melalui assosiasi atau koperasi yang menaungi angkutan umum itu, dikhawatirkan tidak sampai. Karena pengalaman sebelumnya, bantuan seperti itu juga bermasalah           .

"Kalau angkutan umum yang berbadan hukum, gampang, kita tinggal datang melihat jumlah armada, lalu diberikan. Tetapi yang perorangan, ini yang jadi masalah,” katanya.

Menteri Perhubungan EE. Mangindaan sebelumnya mengatakan total anggaran yang disiapkan pemerintah lewat APBNP 2012 menjelang penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi senilai Rp9,8 triliun.(api)

·         Inflasi Tinggi

Inflasi Indonesia bisa meningkat jika harga bahan bakar minyak (BBM) melonjak naik, demikian  Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution, Rabu * menjelaskan  "Kami memperkirakan inflasi itu sekitar 4,4 hingga 4,5 persen. Jika ada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) memang lebih tinggi tetapi itu adalah biaya untuk menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Neraca Pembayaran," kata dia seusai Seminar Nasional Mediasi Perbankan: Optimalisasi Perlindungan Nasabah di Jakarta.         

Dia menilai peningkatan inflasi akibat kenaikan harga BBM masih tergantung tanggapan baik dari pemerintah maupun oleh BI.        
Menurut Darmin, BI telah memiliki rencana jika inflasi meningkat akibat kenaikan harga BBM. "Saya belum mau bilang apa yang akan kami lakukan.
Tapi kami tahu apa yang akan kami lakukan," tegas dia.         

Terkait defisit anggaran yang bisa mencapai hingga 3,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) jika harga BBM naik pada kuartal ketiga 2012, Darmin menjelaskan hal itu tergantung dari ada atau tidaknya kenaikan harga BBM dan kapan waktu yang ditetapkan. "Sehingga defisit anggaran yang tadinya 2,3 jadi 2,5 persen dari PDB. Ya memang pasti ada sedikit kenaikan, karena harga BBMnya tidak naik tapi biayanya naik. Jadi subsidinya harus naik sehingga defisit sedikit lebih besar," jelas dia.           

Dia mengaku jika dibandingkan dengan sejumlah negara lain, peningkatan defisit 2,5 persen tidaklah besar, namun jika dibandingkan dengan keadaan APBN di Indonesia selama sepuluh tahun kenaikan itu cukup besar. Pemerintah dalam APBN-P 2012 masih menggunakan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) di angka 105 dolar AS per barel, sedangkan rata-rata harga minyak mentah Indonesia mencapai 122 dolar AS per barel dalam tiga bulan pertama 2012.

DPR sebelumnya telah menetapkan harga BBM diizinkan untuk disesuaikan oleh pemerintah sesuai pasal 7 ayat 6A tentang APBN-P 2012 dengan harga minyak mentah Indonesia harus 15 persen di atas asumsi. Dengan asumsi ICP 105 dolar AS per barel maka harga yang dipatok bagi pemerintah untuk bisa menggunakan wewenangnya menaikan harga BBM adalah sebesar 120,75 dolar AS per barel.

·         Tekanan Inflasi Datang Bertubi  
Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) akan memberikan tekanan terhadap inflasi paling cepat selama dua bulan. Hal tersebut dikarenakan, naiknya BBM mempunyai dampak langsung dan lanjutan alias second round effect terhadap inflasi.
Peneliti Ekonomi Utama Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Darsono menyatakan, ada dua dampak kenaikan BBM, yakni dampak langsung dan tidak langsung.          

"Dampak langsung ya seketika. Ketika BBM naik, maka harga bensin naik dan menyebabkan konsumsi masyarakat akan bertambah itu yang terjadi bulan pertama," ujarnya di sela diskusi bersama wartawan di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Selasa (8/3/2011).     

Kemudian, lanjut Darsono terdapat dampak lanjutan alias second round effect misalnya kenaikan tarif beberapa kendaraan umum.       

"Adanya kenaikan tarif angkutan pastinya nanti. Naiknya berapa? itu tidak linear, tergantung negosiasi pemerintah. Karena itu, pemerintah diharapkan bisa bermain cantik dalam negosiasi tersebut. Misalnya dengan memberikan kompensasi terhadap penyediaan sparepart kendaraan umum," paparnya.   

Lebih lanjut Darsono menjelaskan, ketika tarif angkutan naik maka sudah pasti harga komoditas juga mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan proses distribusi dari hasil komoditas akan memakan biaya yang lebih besar karena menggunakan kendaraan.      
Data Bank Indonesia menyebutkan ketika harga BBM jenis premium Rp 5.000 di 2008 tingkat inflasi mencapai 11% namun ketika itu krisis global tengah melanda Indonesia. Bank Indonesia mengaku sudah melakukan simulasi atas kenaikan harga BBM ini, meski enggan memparkan angka sumbangan inflasinya.  

Seperti diketahui, pemerintah belum ambil sikap terhadap opsi rencana pembatasan BBM bersubsidi. Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan pemerintah telah mendengarkan paparan dari tim pengkaji pembatasan BBM bersubsidi terkait aspek ekonomi apabila program tersebut diterapkan.          

Ketua Tim Pengkaji Pembatasan BBM bersubsidi Anggito Abimanyu mengungkapkan, terdapat tiga opsi yang diusulkan pihaknya yaitu opsi pertama, kenaikan harga premium sebesar Rp 500 serta pemberian cashback untuk angkutan umum. Cashback ini diberikan karena angkutan umum memberikan pelayanan untuk masyarakat.         

Opsi kedua, lanjutnya, menjaga harga pertamax pada level Rp 8.000 per liter, sehubungan dengan adanya migrasi pengguna premium ke pertamax dan opsi ketiga adalah penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali yang bukan hanya berlaku pada angkutan umum tapi juga motor.   
Ketika pembatasan BBM diterapkan, BI memprediksikan dampak pembatasan BBM tersebut bisa menyumbang 0,7-0,8% pada total inflasi tahunan         

Untuk diketahui, harga minyak mentah dunia memang terus membubung tinggi seiring krisis yang belum juga usai di Timur Tengah.

Pada perdagangan Senin (7/3/2011), minyak light sweet pengiriman April naik US$ 1,02 menjadi US$ 105,44 per barel. Minyak Brent pengiriman April sempat melonjak ke US$ 118,50 per barel sebelum akhirnya surut ke US$ 115,04 per barel.


  • Harga Sembako Diperkirakan Naik 5%
Harga-harga kebutuhan pokok diperkirakan hanya mengalami kenaikan sebesar 5 persen dengan harga baru BBM yang mulai berlaku 24 Mei kemarin.  

Hal tersebut disampaikan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Kantor Pos Besar Bandung, Senin (26/5/2008).    

"Kenaikan harga bahan pokok dan makanan yang langsung disebabkan oleh kenaikan harga BBM diperkirakan berkisar antara 1-5 persen. Hal ini terutama karena kenaikan biaya distribusi dan transportasi yang naik berkisar 10-20 persen," ujar Mari. 

Mari mengungkapkan produsen tidak akan mengalami kenaikan biaya produksi. Karena sejak tahun 2005 produsen sudah mendapat harga BBM yang tidak disubsidi dan sebagian besar produsen sudah menggunakan energi alternatif di luar BBM.  

Mari menambahkan, dengan adanya kenaikan BBM pemerintah akan terus memantau lonjakan harga bahan pokok khususnya harga beras. Apabila harga beras melonjak di atas 20% maka pemerintah akan segera melakukan operasi pasar.  

"Bila terjadi, maka Bulog akan melakukan operasi pasar. Selain itu pemerintah bersama BUMN serta swasta akan menggelar pasar murah di berbagai lokasi pada bulan-bulan mendatang," kata Mari.          

Mari menjelaskan dari pengalaman kenaikan harga BBM pada Maret 2005 lalu sebesar 35 persen telah memberikan dampak inflasi bulan pertama sebesar 1,9 persen yang diikuti sebesar 0,3 persen dan 0,2 persen pada bulan berikutnya.

Ø      DAMPAK APABILA BBM TIDAK NAIK

·         Negara Perlu Rp 15 Triliun Lagi  
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu menyayangkan atas kebijakan yang diambil Pemerintah dan DPR RI terkait dengan kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pasalnya, hasil tersebut memberikan ketidakpastian ekonomi negara di mana harga barang telah naik tetapi justru harga BBM dijaga tetap untuk sementara waktu ini.    

"Sangat mengecewakan, Pemerintah dan DPR menjadi sumber ketidakpastian ekonomi," tegas Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ini kepada detikFinance, Minggu (1/4/2012).      
Anggito menyatakan tidak mampunya pemerintah meloloskan opsi kenaikan harga BBM untuk 1 April ini membuktikan kegagalan pemerintah dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada semua pihak.   

"Apapun ini merupakan kegagalan komunikasi Pemerintah dengan DPR dan dengan Ormas (NU, Muhamadiyah), serta dengan mahasiswa dan kalangan kampus," jelasnya      .
Menurut Anggito, dampak dari keputusan tersebut terhadap fiskal negara, diperkirakan perlunya tambahan pembiayaan sekitar Rp 15 triliun. Jumlah tersebut telah memperhitungkan kemampuan pembiayaan kelebihan subsidi dari tidak terpakainya anggaran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat.           

"Dampak fiskalnya belum jelas, kalau harga BBM tidak naik, subsidi BBM kurang Rp 40 triliun, tetapi kompensasi tidak jadi jadi kurang Rp 25 trilun, jadi APBN kurang pembiayan minimal 15 triliun," pungkasnya.

Ø      SBY Bahas Batalnya Kenaikan BBM 

Rapat paripurna DPR soal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (RAPBN-P) 2012 membuka peluang harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinaikkan tahun ini. Hasil tersebut akan pemerintah bahas dalam rapat kabinet mendatang.        

"Bapak Presiden menghormati keputusan DPR RI dini hari tadi," kata Jubir Keprsidenan, Julian Aldrin Pasha.   

"Hasilnya itu akan dibahas dalam sidang kabinet," imbuh Julian yang dihubungi melalui telepon, Sabtu (31/3/2012).           

Seperti diberitakan sebelumnya, hasil voting sidang paripurna DPR memutuskan menerima tambahan pasal 7 Ayat 6A. Klausul tambahan dalam APBNP 2012 memberian peluang pemerintah menaikkan dan menurunkan harga BBM bila harga minyak mentah Indonesia mengalami kenaikan atau turun rata-rata 15 persen dalam waktu 6 bulan terakhir.           

Namun, rencana awal pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter per 1 April 2012 tetap ditolak. Sebab harga rata-rata 6 bulan terakhir belum 15 persen di atas asumsi ICP baru sebesar US$ 105/barel.   

Dengan keputusan itu, maka harga BBM belum akan naik pada 1 April besok. Terhadap keputusan itu, Menkeu Agus Martowardojo atas nama pemerintah dalam sambutan akhir seusai sidang Paripurna DPR, menyatakan dapat menerima keputusan sidang tersebut.

"Setelah ikuti dan cermati dinamika dalam rapat paripurna DPR ini, dan telah diputuskan pengambilan rumusan baru Pasal 7 Ayat 6a. Pemerintah menyatakan sependapat dengan hasil itu," katanya.    

Pemerintah juga sependapat dengan asumsi baru APBN-P. Yaitu pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, inflasi 6,8 persen, harga ICP US$ 105/barel, nilai tukar rupiah Rp 9.000/dolar AS, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 5 persen, dan lifting minyak 930 barel per hari.

Ø      Paling Cepat BBM Naik Per Juli 2012

 

"Saya perkirakan harga BBM baru bisa naik paling cepat 1 Juli 2012."

Pengamat minyak dan gas (Migas), Kurtubi, menilai harga bahan bakar minyak (BBM) paling cepat baru naik pada 1 Juli nanti.        

"Saya perkirakan harga BBM baru bisa naik paling cepat 1 Juli 2012," kata Kurtubi kepada beritasatu.com, hari ini.           

Perkiraan kenaikan harga BBM itu diperolehnya berdasarkan fluktuasi harga minyak di pasar dunia          .

Hasil rapat paripurna DPR memberikan  keleluasaan bagi pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi jika terjadi kenaikan harga ICP rata-rata dalam 6 bulan terakhir 15 persen dibawah atau diatas target Asumsi APBN.           

Saat ini, kata Kurtubi, harga minyak mentah di pasar dunia sudah berada 15 persen di atas asumsi Indonesia Crude Price versi APBN sebesar $105 Amerika Serikat per barrel. 

Harga minyak mentah Brent hari ini sebesar $122.88 per barel, sementara WTI $103.1 per barel.  

"Sehingga, jika seandainya tidak ada ketentuan rata-rata enam bulan, maka hari ini harga BBM sudah bisa naik," kata Kurtubi.          

Kurtubi mengatakan kenaikan harga minyak dunia yang dapat berdampak pada kenaikan BBM bersubsidi akan terjadi jika konflik di Selat Hormuz (Iran) memburuk.

Akan tetapi, apabila konflik Selat Hormuz mendingin, maka harga ICP di pasar dunia akan turun di bawah US$120/bls.   

"Sehingga harga BBM selama tahun 2012 bisa tidak naik," kata Kurtubi.


Ø            RAPBN 2012, Momen Reformasi Kebijakan Subsidi BBM
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas Armida Alisjahbana berpendapat, pembahasan RAPBN-Perubahan 2012 yang sekarang ini sedang berlangsung merupakan momen untuk melakukan reformasi kebijakan energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Saya ingin menggarisbawahi, menerangkan, sebetulnya sekarang itu buat kita dengan momen RAPBN 2012 itu sebetulnya inilah momen bagi Indonesia untuk secara lebih sistematis mulai melakukan transformasi itu, reformasi. Dan kebijakan subsidi momennya sekarang, menurut saya, terutama energi lebih khusus lagi BBM (bahan bakar minyak)," sebut Armida dalam konferensi pers bersama Asian Development Bank terkait perekonomian Indonesia, di Jakarta, Senin (26/3/2012).
Armida menerangkan, komponen terbesar dalam subsidi BBM adalah yang penggunaannya untuk transportasi, apakah itu BBM jenis premium atau solar. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menurunkan porsinya dalam anggaran negara.
Beberapa tahun lalu, lanjut dia, pemerintah berhasil melakukan reformasi dalam hal subsidi minyak tanah. Dalam dua-tiga tahun, pemerintah berhasil mengurangi subsidi minyak tanah tanpa menjadi isu besar. Dengan keberhasilan tersebut, berkuranglah beban pemerintah dalam memberikan subsidi energi. "Nah, untung itu sudah selesai sehingga PR kita tinggal bagaimana subsidi yang kaitannya BBM dan transportasi, khususnya premium dan solar," tambah dia.
Idealnya, kata Armida, ketika BBM diimpor lantas besaran subsidinya dikurangi maka harus ada opsi. Apalagi harga minyak dunia naik secara mendadak. Opsi itu, terang dia, adalah konversi BBM ke bahan bakar gas. "Itu saya rasa kuncinya. Tanpa ada opsi itu ya pemerintah tidak dalam posisi mengatakan pokoknya harga BBM bersubsidi naik kemudian kompensasi. Bukan itu, kalau itu sangat-sangat jangka pendek. Tapi sebetulnya harus reform, yaitu konversi BBM ke BBG," sebut Armida.
Konversi dari BBM ke BBG dinilai penting karena salah satu alasannya yakni murahnya harga BBG ketimbang BBM. Harga BBG sekarang ini sebesar Rp 3.100 per liter ekuivalen. "Itu kan opsi yang menarik dan itu sudah berhasil dilakukan di negara-negara lain. Bukannya tidak berhasil. Silakan dicek, di Thailand, India," paparnya.
"Kedua, PR kita juga adalah public transportation, terutama di kota-kota besar. Jakarta juga belum terintegrasi dengan baik sehingga kembali lagi, kalau harga BBM bersubsidi itu harus naik, opsi itu (konversi BBM ke BBG) ada," pungkas Armida.
Ø      Menyikapi RAPBN 2012

Dalam pidato kenegaraan yang dibacakan Presiden SBY, 16 Agustus 2011, sekaligus pengantar nota keuangan dan RAPBN 2012 menetapkan asumsi ekonomi makro sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi dipatok 6,7 persen, laju inflasi 5,3 persen, nilai tukar rupiah Rp8.800 per dollar AS, harga minyak 90,0 dollar AS per barel, dan  lifting minyak 950 ribu barel per hari. Dengan asumsi ini, maka anggaran belanja negara dalam RAPBN 2012 ditetapkan sebesar Rp1.418,5 triliun atau naik 7,4 persen dari tahun 2011 sebesar Rp1.320,7 triliun (dalam APBN-P 2011). 

Sementara di sisi pendapatan negara dan hibah dipatok angka Rp1.292,9 triliun atau naik sebesar Rp123,0 triliun atau 10,5 persen dari target pendapatan negara dan hibah pada APBN-P Tahun 2011 sebesar Rp1.169,9 triliun. Dengan porsi pendapatan dan belanja negara tersebut, maka defisit anggaran menjadi 1,5 persen (dari PDB) atau lebih rendah dari defisit dalam APBN-P 2011 sebesar 2,1 persen. Secara umum dari tahun ke tahun persoalan target defisit anggaran negara seringkali melenceng diakibatkan oleh dua faktor utama: kegagalan mengoptimalkan pendapatan negara, dan kegagalan mempertahankan kualitas pengelolaan anggaran yang selama ini bocor di kisaran 30-40 persen.  

Dari total anggaran belanja b\negara dalam RAPBN 2012 sebesar Rp1.418,5 triliun dengan komposisi anggaran belanja pemerintah pusat sebesar Rp954,1 triliun atau mengalami peningkatan 5,1 persen dari APBN-P 2011 (atau naik Rp45,9 triliun). Sedangkan dana transfer ke daerah dalam RAPBN tahun 2012 sebesar Rp464,4 triliun naik 12,6 persen dari pagu APBN-P 2011 sebesar Rp412,5 triliun dengan komposisi Rp394,1 triliun untuk dana perimbangan dan Rp 70,2 triliun untuk dana otonomi khusus dan penyesuaian. Alokasi dana perimbangan itu terdiri atas Dana Bagi Hasil atau DBH Rp98,5 triliun; Dana Alokasi Umum atau DAU Rp269,5 triliun; dan Dana Alokasi Khusus atau DAK Rp26,1 triliun. Dalam kurun 2006-2011, proporsi anggaran pemerintah pusat-transfer daerah rata-rata berada pada titik 30-34 persen untuk transfer daerah dan 66-70 persen untuk belanja pemerintah pusat.        

Pola ini tentunya dapat memberikan signal bagi publik perlunya peningkataan keberpihakan anggaran terhadap pembangunan di daerah di tengah isu disparitas ekonomi antar wilayah yang tak terselesaikan selama 66 tahun Indonesia merdeka. Di sisi lain perlu dicatat bahwa 83,2 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan perdesaan dengan total jumlah desa sebesar 74 ribu desa (survei PODES, 2006). Dari 74 ribu desa tersebut, 45 persen atau sekitar 32.500 desa merupakan desa tertinggal (miskin). Sementara di tingkat Kabupaten, dari total 399 Kabupaten yang ada di Indonesia 183 kabupaten diidentifikas sebagai kabupaten tertinggal yang sebagian besar (60 persen) berada pada Indonesia bagian Tengah dan Timur. Makanya, sangat jelas jika arah kebijakan adalah pemerataan dan perluasan pembangunan perlu difokuskan pada pembangunan daerah-daerah tertinggal, sehingga kesenjangan antar wilayah dapat direduksi secara perlahan.      
Dari total anggaran belanja pemerintah pusat sebesar Rp954,1 triliun dengan komposisi terdiri dari belanja pegawai sebesar Rp215 triliun (22,5 persen), subsidi Rp208 triliun ( 21,8 persen), belanja modal Rp168,1 triliun (17,6 persen), belanja barang Rp138 triliun (14,4 persen), pembayaran utang Rp 123,7 triliun (13 persen), dan belanja lain-lain Rp 100,4 triliun (10,5 persen).  Besarnya lonjakan belanja rutin pegawai menjadi sorotan dari tahun ke tahun yang berpotensi mereduksi program reformasi birokrasi yang tengah digalakkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Struktur anggaran yang terbebani dengan anggaran belanja pegawai tentunya dapat berakibat pada semakin sulitnya mengedepankan program-program pemerataan dan perluasan pembangunan ekonomi.       

Membengkaknya anggaran belanja pegawai setidaknya tidak akan menjadi masalah besar apabila struktur penyelenggara negara dapat berjalan optimal dan efektif. Namun sebaliknya, akan menjadi masalah besar (liability) apabila struktur tersebut hanya dijadikan ajang transaksi politik dan mengamankan kekuasaan. Pemerintah saat ini memliki 34 kementerian dan 3 lembaga setingkat kementerian, 88 lembaga non-struktural, 28 lembaga non-kementerian ditambah berbagai satuan tugas yang dibentuk (walau bersifat ad hoc). Jumlah kementerian ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara besar, seperti Jepang (11), AS (15), Rusia (20), dan Brasil (24), atau bahkan jika dibandingkan dengan negara sosialis seperti China (29). 

Gemuknya struktur penyelenggaran pemerintahan tentunya tidak hanya berdampak pada tingginya belanja rutin pegawai (belum lagi persoalan dana pensiun yang akan dihadapi kemudian hari), tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan, juga akan semakin mempertegas Indonesia sebagai negara high cost economy. Dan yang mengkawatirkan adalah bongsornya tatanan penyelenggara negara akan berpotensi pada semakin biasnya arah kebijakan atau semakin tidak fokusnya kebijakan-kebijakan yang  diambil di masa mendatang.     

Untuk menyukseskan program reformasi birokrasi yang tidak sekadar memperbaiki remunerasi pegawai tetapi juga perlu upaya merasionalisasi struktur dan organ penyelenggara pemerintahan yang berlebihan dan sangat tidak efisien. Reformasi birokrasi bukan sekadar program insidentil yang hanya menyelesaikan persoalan di permukaan saja, tetapi harus didorong untuk lebih pada perbaikan tatanan lembaga penyelenggara negara yang efektif dan efisien.        

Ø      Asumsi  Makro RAPBN 2012
"Pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah serta suku bunga SPN 3 bulan untuk RAPBN 2011 akhirnya telah diputuskan," tutur Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis dalam rapat kerja dengan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) di Gedung DPR, Kamis (15/9).    

Adapun asumsi makro RAPBN 2012 tersebut adalah pertumbuhan ekonomi 6,7%, inflasi 5,3%, nilai tukar Rp 8.800 per dolar AS, dan suku bunga SPN 3 bulan 6,4%.    

Pengesahan asumsi tersebut diiringi catatan dari beberapa fraksi-fraksi, diantaranya Fraksi PDIP yang menyatakan bahwa suku bunga SPN 3 bulan bisa ditekan ke arah 6%.    

Sementara tiga fraksi yaitu Fraksi Partai Golkar, PDI dan Hanura memberikan catatan khusus untuk pertumbuhan ekonomi dimana tingkat pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7%. 

Untuk kemiskinan, pada 2012 ditargetkan mencapai 10,5%-11,5%. "Disepakati pula setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 450.000 tenaga kerja dan tingkat pengangguran terbuka berada di 6,4%-6,6%," tuturnya.           

Menurut Fraksi PDIP, target kemiskinan harus diberi catatan bahwa seharusnya setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 475.000 tenaga kerja.          

"PDIP berpendapat tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,2% dengan kondisi alokasi peningkatan pertumbuhan di sektor pertanian. Untuk PKS angka kemiskinan diberikan catatan bisa ditekan 10-11%," lanjutnya.          

Sedangkan untuk tax ratio ditargetkan sebesar 13%. Pemerintah optimis dapat mengejar seluruh target sesuai RAPBN 2012. "Sudah disepakati semua, pada dasarnya pemerintah akan mengejar seluruh target sesuai dengan apa yang disepakati," jelasnya.
SUMBER       :
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1774940/inilah-asumsi-makro-rapbn-2012