BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dari angka – angka pendapatan nasiolal Indonesia dapat di lihat dengan
jelas bahwa sejak tahun 1968 perekonomian kita mengalami perkembangan yang
cukup menggembirakan. Tapi dari angka – angka yang ada, baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri, menjadi nyata pula bahwa perkembangan tersebut tidak
selalu kontinu atau stabil. Sering kali dunia ekonomi “mau lari terlalu cepat”,
sehingga harga – harga naik dan terjadi inflasi. Tetapi sering juga kegiatan
ekonomi justru kurang sejalan dengan kebutuhan atau mengalami kemunduran,
bahkan kemacetan, dan orang bicara tentang stagnasi atau resesi.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat, tetapi
sekaligus menjaga kestabilan ekonomi, pemerinyah yang bertugas mengendalikan
serta mengarahkan kegiatan ekonomi nasional menuju cita – cita bangsa kita:
pertumbuhan – pertumbuhan, kestabilan, dan pemerataan. Untuk itu senjata di
tangan pemerintah adalah economic policy, yaitu kebijakan pemerintah, baik
melalui pengaturan keuangan Negara.
Bila kita mempelajari sejarah perkembangan ekonomi di
berbagai Negara, segera akan kelihatan bahwa kegiatan ekonomi modern jarang
dalam keadaan stabil untuk jangka waktu yang agak lama. Ada masa – masa di mana kegiatan ekonomi berkembang
dengan cepatnya, di mana produksi bertambah, pendapatan masyarakat naik dan
mencari pekerjaan mudah. Tetapi masa – masa di mana semuanya terasa macet;
produksi merosot, pendapatan masyarakat berkurang dan pengangguran bertambah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Inflasi dan Resesi
2.
Apa itu Konjungtur
3.
Akibat Resesi di Indonesia
4.
Jenis – jenis Inflasi
5.
Penyebab terjadinya Inflasi
6.
Masalah Inflasi yang ditinjau dari segi
Permintaan
C.
Tujuan
Masalah
1.
Menjelaskan pengertian Inflasi dan Resesi
2.
Menjelaskan Konjungtur
3. Menjelaskan akibat – akibat resesi di
Indonesia
4. Mengetahui jenis – jenis Inflasi
5. Mengetahui penyebab terjadinya Inflasi
6. Menjelaskan masalah – masalah Inflasi dari
segi Permintaan
BAB II
ISI
1.
Resesi dan Inflasi
Apasih Resesi dan Inflasi itu?
Dikatakan Resesi (kelesuan) apabila; kegiatan ekonomi itu seret, produksi
merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil produksi
kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada.
Dan, kalau kemerosotan itu sudah cukup parah, disebut depresi. Sedangkan Inflasi, yaitu kalau perekonomian
nasional “mau lari terlalu cepat” sehingga kapasitas produksi tidak dapat
melayani permintaan masyarakat dan harga – harga naik; ibaratnya seperi penderita
tekanan darah.
Kedua
masalah itu dapat ditangani dengan kebijakan ekonoi yang tepat. Tetapi, dewasa
ini kedua masalah itu suka muncul bersamaan, sehingga orang bicara tentang
stagflasi (stagnasi + inflasi). Dalam hal ini menjadi lebih sulit untuk
mengatasinya, karena usaha menangani masalah yang satu, justru memunculkan
masalah yang lain. Maka diperlukan kebijakan ekonomi yang dapat mengatasi
resesi tanpa menimbulkan inflasi, dan sekaligus menjaga jangan sampai usaha
mengendalikan inflasi mematikan laju pertumbuhan ekonomi yang sehat dan
seimbang.
2.
Konjungtor
Dalam pertumbuhan
perekonomian suatu bangsa maupun perekonomian dunia masa – masa kemajuan /
pertumbuhan silih berganti dengan masa – masa kemunduran / kemerosotan. Dalam
ekonomi, pasang surutnya kegiatan ekonomi ini disebut gelombang konjungtor (business
fluctuations atau business cycles). Pada tahun 1930-an, para ahli ekonomi mulai
mempelajari gejala naik turunnya kegiatan ekonomi tersebut, dan mencari jalan
bagaimana dapat diatasi atau tidak diredakan.
·
GELOMBANG KONJUNGTOR
Kegiatan ekonomi
tidak stabil atau kontinu melainkan bergelombang (lihat Gambar 1). Pasang –
surutnya kegiatan ekonomi nasional secara keseluruhan ini disebut gelombang
konjuntor. Istilah gelombang menunjukkan gejala naik – turunnya kegiatan
ekonomi (produksi, perdagangan, investasi, konsumsi, jumlah uang/kredit,
tingkat harga, kesempatan kerja, volume ekspor – impor, dsb) secara berulang –
ulang dengan suatu urutan atau pola tertentu.
a.
Ekspansi = Kegiatan Ekonomi Cepat
Untuk lebih mengerti masalah inflasi yang sangat aktual ini, kita
berpangkal dari pengertian keseimbangan antara arus barang dan arus uang.
Menurut hasil
penelitian para ahli statistik ekonomi, kebanyakan gelombang konjungtur
berlangsung sekitar 3 – 4 tahun. Tetapi para ahli menunjukan pula bahwa ada
gelombang yang berlangsung lama: sampai sekitar 8 – 10 tahun, bahkan ada yang
15 – 15 tahun. Setiap gelombang mempunyai ciri – cirinya sendiri: tak ada dua
gelombang konjungtur yang tepat sama. Namun semua gelombang menunjukkan suatu
pola dasar yang sama. Satu gelombang (satu cycle) biasanya dibagi dalam empat
tahap:
1)
Tahap ekspansi (prosperity), yaitu tahap kegiatan ekonomi dalam
perkembangan / pertumbuhan yang cepat sampai tercapai puncak kegiatan (sering
juga disebut masa “boom” atau “hausse”). Tetapi setelah beberapa waktu mulai
timbul kemacetan – kemacetan dan hambatan – hambatan, yang akhirnya menyebabkan
situasi berubah / berbalik menjadi kemunduran. Titik balik (atas) disebut
krisis.
2)
Resesi atau kelesuan. Semula kemacetan – kemacetan yang
timbul menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi terhenti (stagnasi) dan /atau
mundur sedikit. Kalau kelesuan itu berlangsung lama dan hebat, di mana semua
sektpr ekonomi ikut ketularan, kelesuan menjadi kemerosotan.
3)
Depresi atau kemerosotan, di mana produksi berkurang,
banyak pabrik ditutup dan banyak terjadi pengangguran. Keadaan ini juga disebut
baisse atau “konjungtur rendah”. Tetapi akhirnya keadaan berubah lagi (titik
balik bawah), dan mulailah tahap berikut:
4)
Pemilihan (revival atau recovery), kalau kegiatan ekonomi
nasional mulai normal kembali
Karena dorongan
dari salah satu “strater”, kegiatan ekonomi meningkat.para produsen bekerja
dengan kapasitas penuh dan usahanya. Tingkat investasi tinggi dan banyak
pengusaha yang minat kredit bank. Jumlah uang dan kredit bertambah, dan kurs
saham di bursa mulai naik. Pandangan dunia bisnis menjadi optimis sekali.
Tingkat upah/gaji mulai ikut naik tetapi tidak secepat kenaikkan laba. Ini yang
disebut konjungtor tinggi (hausse).
Tetapi lama –
kelamaan mulai timbul ketegangan – ketegangan. Kredit bank pada suatu saat
harus dilunasi; tingkat harga mulai naik dan harga dasar naik (berarti biaya
produksi naik pula). Tingkat harga yang tinggi menyebabkan upah – gaji harus
dinaikkan pula. Ekspansi terhenti supply menyebabkan harga cenderung turun
sedsngkan biaya produksi meningkat.
b.
Resesi = Kelesuan
Kegiatan ekonomi
mulai mundur, setidak – tidaknya sudah tidak mundur. Ada perusahaan yang
macet/rugi, terutama di sektor industri dasar. Penjualan tidak bertambah lagi
atau bahkan berkurang. Kurs saham di bursa mulai turun. Harga beberapa jenis
barang mulai merosot. Kenaikkan biaya produksi sudah tidak diimbangi oleh
kenaikkan jumlah penjualan. Kredit – kredit bank harus dilunasi dan pinjaman
baru tidak dilayani. Kegiatan ekonomi mulai mundur, dan pandangan para
pengusaha mulai “suram” (pesimis) terutama harapan untuk
mendapatkan laba. Pendapatan nasional tidak bertambah lagi, bahkan merosot
beberapa persen.
c.
Depresi = Kemerosotan
Kegiatan ekonomi
semakin merosot (lebih daripada beberapa persen saja). Banyak perusahaan tutup
karena rugi, dan pengangguran bertambah. Karena pendapatan masyarakat
berkurang, permintaan masyarakat sedikit, sehingga penjualan hanya sedikit.
Harga barang merosot, dan pandangan para pengusaha menjadi pesimis sekali. Ini
yang disebut konjungtur rendah atau baisse.
d.
Recovery atau Pemulihan
Lama – kelamaan
persediaan barang mulai menipis, sehingga ada dorongan untuk menghidupkan
kembali kegiatan produksi. Dengan demikian pengangguran berkurang. Juga mulai
ada investasi lagi untuk menggantikan alat – alat produksi yang usut/aus.
Penjualan mulai bertambah lagi, dan harga – harga naik sedikit. Pandangan dunia
bisnis menjadi lebih optimis lagi, dan ada lagi pengusaha yang mulai dengan
usaha – usaha baru. Kehidupan ekonomi mulai normal kembali.
3.
Akibat Resesi
Gejala
kongjuntur terutama dirasakan di negara – negara industri yang menganut sistem
ekonoi bebas atau mixed. Ini
disebabkan karena reaksi dunia bisnis lebih cepat dan sensitif, sedangkan
permintaan masyarakatlebih elastis. Tetapi, Indonesia juga merasakan akibat –
akibatnya, apabila di luar negeri terjadi resesi. Misalnya, pada tahun
1979-1980 perekonomian dunia mengalami resesi yang melalui impor – ekspor,
jelas ini mempengaruhi situasi ekonomi dalam negeri.
Akibat resesi
Internasional pada Perekonomian Indonesia hádala:
· Harga minyak bumi tidak apat naik lagi,
melainkan cenderung turun
· Banyak komiditi ekspor mulai terpukul
dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya
seperti lada, kopi, tapioka, rotan,
bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya. Nilai hasil
ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun sedikit. Dan
encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang industri seperti tekstil
juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di luar negeri.
( keadaan kronologi sejak 1983 )
Resesi duia masih berkelanjutan, baik di Amerika maupun Eropa dan Jepang.
Akibat permintaan akan barang – barang ekspor Indonesia tidak meningkat, bahkan
merosot.
· Tingkat bunga di Amerika tinggi. Akibatnya
dolar lari ke Amerika; kedudukan $ meningkat dibandingkan dengan rupiah (Rp).
Disamping menimbulkan spekulasi terhadap kemungkinan devaluasi rupiah, ekspor
Indonesia menjadi lebih berat bersaing di pasar luar negeri.
· Merosotnya harga minyak merupakan pukulan
berat bagi perekonomian Indonesia – dana untuk pembangunan, yang dulu diabil
dari penerimaan migas, sangat merosot.
· Ekspor nonmigas juga terpukul, tidak
meningkat seperti di harapkan – belum bisa untuk mengimbangi kerugian dari
kemerosotan harga minyak.
· Cabang – cabang industri dalam negeri yang
terpukul antara lain tekstil, otomotif, elektronika, bangunan/konstruksi.
4. Inflasi
Inflasi dalam
arti “kenaikan harga umum” rupa – rupanya sudah menjadi gejala yang biasa dalam
masyarakat modern. Sejak dulu gejala inflasi dihubungkan dengan jumlah uang
yang beredar.
Sejak dulu
gejala inflasi dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar. Kalau jumlah uang
(M) bertambah (cateris paribus) jadi V konstan dan T juga konstan, maka harga –
harga (P) akan naik. Tetapi mengapa M akan naik? Lagi pula masih ada
pertanyaan, apakah sudah pasti harga – harga naik sebagai akibat adanya
pertambahan M. Atau mungkin sebaliknya: oleh karena itu, harga – harga sudah
naik (karena sebab lain), maka jumlah uang atau M harus disesuaikan. Jadi,
bukan kenaikan M yang menyebabkan kenaikan P, tetapi sebaliknya kenaikan P
menyebabkan kenaikan M.
· Terganggunya Keseimbangan Arus Uang dan
Arus Barang
Kalau semuanya itu berjalan dengan lancar
dan ada kecocokan maka keadaan ekonomi nasional di katakan dalam keadaan
seimbang:
Ø
Produksi
berjalan lancar dan melayani kebutuhan/permintaan masyarakat, sambil memberikan
kesempatan kerja
Ø
Hasil
produksi terjual sama dengan apa yang di beli oleh masyarakat (tak terlalu
banyak dan tak terlalu sedikit ) dengan harga yang tidak terlalu mahal/murah
Ø
Jumlah
uang beredar tepat cukup untuk melayani kebutuhan ekonomi
Ø
Tanda
kecocokan yang jelas: harga – harga stabil
Kenyataan harga
– harga tidak selalu stabil: mungkin terjadi inflasi, mungkin juga resesi,
bahkan bisa jadi stagnasi. Ketidakstabilan harga – harga ini merupakan suatu
tanda bahwa tidak ada kecocokan antara arus barang dan arus uang, antara
produksi dan pembelanjaan masyarakat, antara supply dan demand.
Tergantungnya
keseimbangan antara arus uang dan arus barang ini dapat berasal dari tiga segi:
Ø
Segi
produksi atau arus barang (segi suply). Misalnya: karena panen gagal, ada
ham/banjir/bencana alam, kemacetan transportasi, perubahan teknik produksi dsb.
Segi permintaan (demand): kelebihan (atau kekurangan) permintaan masyarakat,
misalnya karena adanya perubahan selera konsumen atau mode (C), perubahan
tingkat investasi akibat perkembangan teknologi (I), defisit APBN (G), ekspor
lebih besar (atau lebih kecil) dari impor (Xn), atau pandangan para pengusaha
yang optimis (atau pesimis). Ini semua mempengaruhi permintaan dan pembelanjaan
masyarakat (terutama tingkat I dan G).
Ø
Segi
harga. Misalnya, karena kenaikkan PGPS yang disusul oleh kenaikan harga dan
upah. Mungkin juga karena kenaikan harga bahan, misalnya karena OPEC menaikkan
harga minyak tanah atau karena kenaikan/penurunan harga barang impor. Bisa juga
karena perubahan kurs valuta asing (seperti perubahan kurs dolar), yang ikut
mempengaruhi harga semua barang impor.
Ø
Segi
uang. Misalnya, karena ekspansi jumlah uang dan kredit oleh dunia perbankan
lebih cepat dari yang dapat direncanakan oleh masyarakat.
Tabel 1.1 :
Perbandingan antara laju Inflasi dan laju Pertambahan Jumlah Uang yang Beredar
(1976 – 1979)
|
Tahun
|
Laju Inflasi
(% pada akhir tahun)
|
Laju Pertambahan
Jumlah Uang
(% kenaikan)
|
|
1966
|
650
|
-
|
|
1967
|
113
|
134
|
|
1968
|
85
|
121,1
|
|
1969
|
9,9
|
61,0
|
|
1970
|
8,9
|
36,5
|
|
1971
|
2,5
|
28,2
|
|
1972
|
25,8
|
47,9
|
|
1973
|
27,3
|
41,0
|
|
1974
|
33,3
|
40,1
|
|
1975
|
19,7
|
33,3
|
|
1976
|
14,2
|
28,2
|
|
1977
|
11,8
|
25,2
|
|
1978
|
6,7
|
24,0
|
|
1979
|
21,7
|
35,8
|
Tabel menunjukkan perbandingan antara laju
inflasi dan laju pertambahan jumlah unag beredar. Dari angka – angka ini dapat
dilihat adanya sekadar kesejajaran. Tetapi tidak jelas adanya hubungan kasual
(sebab-akibat) antara kenaikan M dan kenaikan P. Menurut keterangan Bank
Indonesia, jumlah uang beredar setiap tahun disesuaikan dengan perkembangan perekonomian
kita. Dengan semakin meluasnya pemakaian uang dalam masyarakat, jumlah uang
beredear dapat ditambah dengan persen tertentu tanpa menimbulkan bahaya
inflasi.
· Jenis – jenis Inflasi
Atas dasar
keterangan di atas (serta teori – teori yang mencoba menjelaskan terjadinya
gangguan keseimbangan tersebut) dewasa ini dibedakan paling sedikit tiga sumber
inflasi, dan demikian juga tiga jenis inflasi:
1)
Inflasi
yang disebabkan karena kelebihan permintaan efektif: pembelanjaan masyarakat (C
+ I + G + Xn) terlalu besar (atau naik terlalu cepat), sehingga tidak dapat
dilayani oleh kapasitas produksi. Inflasi yang timbul karena kelebihan
permintaan masyarakat ini disebut demand-pull inflation. Masyarakat konsumen,
para produsen, pemerintah, dan luar negeri bersama – sama mau membeli lebih
banyak barang dan jasa dari yang dapat disediakan oleh kapasitas produksi yang
ada. Karena permintaan yang berlebih itu, keseimbangan antara supply dan demand
terganggu, sehingga harga – harga naik. Permintaan masyarakat ini di dukung
oleh dunia perbankan, tetapi dapat juga dari uang tabungan yang ”diaktifkan
kembali” tanpa adanya tambahan uang oleh duni bank.
2) Inflasi yang disebabkan karena kenaikan
biaya produksi. Jenis inflasi ini disebut cost-push infaltion. Kenaikkan
biaya produksi mendorong harga ke atas. Jenis inflasi ini dibedakan atas:
·
Inflasi karena kenaikan harga bahan baku , misalnya minyak
tanah
·
Inflasi
karena kenaikan gaji/upah. Misalnya: karena kenaikan gaji pegawai
negeri, yang diikuti oleh usaha – usaha swasta pula, maka harga – harga lainnya
ikut naik.
Jenis inflasi ini merupakan jenis yang paling ditakuti, karena
menimbulkan “spiral upah-harga”: karena upah naik, harga naik, dan karena harga
naik, upah harus dinaikkan; demikian seterusnya.
3)
Inflasi
karena ketularan dari luar negeri. Jenis inflasi ini banyak dialami oleh negara
– negara sedang berkembang yang sebagian besar dari usaha produksinya di semua
sektor mempergunakan bahan dan alat dari luar negeri. Misalnya: inflasi yang
ada di Jepang terpaksa diimpor ke Indonesia, karena harga bahan cat, bahan
foto, kendaraan dan bahan apa saja yang berasal dari sana menggendong inflasi
itu. Jenis inflasi ini dapat disebut imported inflation (meskipun dapat juga
disolongkan pada jenis kedua di atas tadi)
Repotnya
dengan inflasi ialah, bahwa ketiga jenis inflasi tersebut biasanya saling
mendorong dan saling memperkuat. Sekali orang menyadari adanya inflasi, mereka
akan bertindak sedemikian rupa hingga justru memperkuat inflasi yang sudah ada.
·
Karena
harga – harga naik, para pedagang cenderung menyimpan barangnya menunggu sampai
harga naik lebih tinggi lagi. Ini menyebabkan peredaran barang berkurang
sehingga barang – barang naik.
·
Karena
harga – harga naik, para pengusaha akan mengikuti gerakan harga dan berusaha
mempertahankan/meningkatkan pendapatan dan labanya dengan menaikkan harga
jualnya.
·
Karena
harga – harga naik, masyarakat cenderung segera membeli barang (sebelum harga
naik lagi), sehingga permintaan akan barang naik dan harga – harga justru akan
naik lagi.
·
Karena
kaitan antara barang yang satu dengan yang lain, kenaikan harga barang yang
satu akan mendorong harga barang – barang lain ke atas pula.
5. Penyebab terjadinya Inflasi
Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa inflasi yang lunak dapat merangsang
bisnis sektor untuk memperluas produksinya, sehingga dapat menciptakan lapangan
kerja. Namun, kalau tidak hati – hati inflasi yang lunak pun dapat berubah
menjadi inflasi yang lebih hebat. Dalam inflasi, masyarakat cenderung enggan
menabung, dan juga enggan pegas uang kas/tunai, sebab nilai riil uang terus
merosot. Masyarakat cenderung lebih suka menyimpang kekayaan dalam bentuk
barang. Keadaan demikian akan mendorong timbulnya spekulasi perdagangan dan
dapat menciptakan inflasi yang jauh lebih hebat (hyper inflation). Selain itu
dalam inflasi terjadi kenaukkan harga – harga umum, namun kenaikan harga itu
tidak selalu searah dengan intensitas yang sama – adanya kenaikan harga umum
juga akan menyebabkan harga barang ekspor menjadi mahal, sehingga barang ekspor
akan menjadi sulit bersaing di pasar Internasional-inflasi akan menyebabkan
nilai riil setiap satuan uang merosot, sehingga mereka yang berpendapatan tetap
(nilai nominalnya), daya belinya terus merosot. Demikian pula mereka yam\ng
meminjamkan uang akan sangat dirugikan. Sebab pada saat jatuh tempo mereka akan
menerima uang uang mereka dengan nilai riil lebih rendah – dalam inflasi
kenaikan harga barang berjalan dengan intensitas yang sama akan menguntungkan
pihak – pihak yang memiliki faktor produksi ataupun barang dan jasa yang
mengalami intensitas kenaikkan paling tinggi. Sebab, mereka akan menikmati
capital gain (keuntungan yang didapat karena adanya kenaikkan harga) yang
paling tinggi. Dalam keadaan inflasi mereka yang mempunyai kekayaan lebih
banyak jauh lebih bisa bertahan dari mereka yang miskin. Orang mengatakan yang
kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin (secara relatif paling tidak).
Dengan demikian inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan di antara
masyarakat dan menjauhkan tercapainya keadilan yang dicita – citakan.
6. Masalah Inflasi yang Ditinjau dari Segi Permintaan
Dalam konfrontasi antara apa/berapa yang ingin dicapai (segi demand) dan
apa/berapa yang dapat dihasilkan (segi supply) dalam teori Keynes pada dasarnya
ada tiga kemungkinan:
a.
Permintaan
masyarakat tepat sesuai dengan kapasitas produksi, sehingga seluruh tebaga
kerja dipekerjakan: tak ada pengangguran dan juga tak ada inflasi. Ini keadaan
seimbang yang dicita – citakan.
b.
Permintaan
masyarakat kurang dari yang diperlukan untuk mempekerjakan seluruh faktor
produksi. Dalam situasi ini akan ada pengangguran.
c.
Permintaan
masyarakat lebih besar daripada yang dapat dilayani dengan kapasitas produksi
yang ada. Dalam hal ini akan terjadi inflasi.
6.1
Kekurangan
Permintaan Efektif
Apabila permintaan masyarakat akan suatu barang
dan jasa (C + I + G +Xn) kurang dari potensi GNP, sehingga hasil produksi tidak
laku terjual, para produsen akan menderita rugi dan cenderung memperkecil
produksinya, mungkin dengan melepaskan tenaga kerja yang tidak dibutuhkan lagi.
Alhasil produksi nasional sesuai (disesuaikan!!) dengan permintaan masyarakat,
sehingga memang ada suatu “keseimbangan” antara permintaan dan penawaran,
tetapi bukan keseimbangan yang “baik” karena ada pengangguran. Karena
permintaan masyarakat terlalu kecil dibandingkan dengan kapasitas, maka hasil
produksi juga kurang dari yang sebenarnya dapat dihasilkan (dengan istilah
teknis: actual GNP kurang dari potential GNP) dengan terpaksa masih ada
faktor produksi (tenaga kerja manusia) yang menganggur, tidak karena adanya
kesulitan pada pihak produsen, melainkan karena kekurangn permintaan
masyarakat.
6.2
Kelebihan
Permintaan Efektif
Dewasa ini situasi kerap kali lain: bukan kekurangan melainkan kelebihan
permintaan efektif. Para konsumen, produsen, pemerintah, dan luar negeri
bersama – sama mau membeli lebih banyak dari yang dapat dihasilkan dengan
kapasitas produksi yang ada. (Dengan istilah teknis: permintaan efektif lebih
besar dari potential GNP). Ini yang
menyebabkan ketegangan – ketegangan dipasaran, sehingga harga – harga naik.
Karena produksi tak bisa naik (dibatasi oleh kapasitas produksi), akibatnya
adalah inflasi. Dalam keadaan demikian tidak ada pengangguran, tetapi juga
tidak ada ekuilibrium antara supply dan
demand.
6.3
Menjaga
Keseimbangan
Untuk menjaga keseimbangan yang “baik” dan stabil, tanpa inflasi dan tanpa
pengangguran, seninya adalah bagaimana mengatur permintaan masyarakat
sedemikian rupa sehingga tepat sesuai dengan kapasitas produksi, tidak
kekurangan dan tidak berlebihan.
Selama effective demand kurang dari potential GNP, pembelanjaan masyarakat harus ditambah, tetapi
apabila effective demand lebih besar
dari potential GNP, pembelanjaan
total harus diperkecil. Ini mudah dikatakan, tetapi pelaksanaannya amat sulit,
sebab kapasitas produksi nasional (dan demikian pula potential GNP) juga selalu berubah – ubah.
6.4
Keseibangan
Moneter
Sampai sekarang peranan uang/kredit belum ditonjolkan. Memang cara berfikir
Keysian lebih memperhatikan apa yang terjadi dengan produksi dan konsumsi,
investasi dan kesempatan kerja, tanpa banyak mempersoalkan dari mana para
produsen mendapatkan uang/kredit untuk membiayai rencana – rencana
investasinya. Uang atau kredit yang diperlakukan untuk itu tentu akan disediakn
oleh dunia perbankan sesuai dengan kebutuhan.
Para ahli mengemukakan pengertian “Keseimbangan Moneter”, yaitu
keseimbangan antara permintaan uang/kredit (oleh masyarakat) dan penawaran uang
(oleh dunia perbankan) sedemikian rupa hingga jumlah uang beredar (money supply) tepat cukup untuk melayani
permintaan efektif masyarakat.selanjutnya permintaan efektif masyarakat harus
tepat cocok dengan kapasitas produksi, tanpa inflasi atau pengangguran
(ekuilbrium pembelanjaan).
6.5
Keadaan
Perekonomian Indonesia
Buku karangan Keynes mempunyai pengaruh mendalam terhadap seluruh cara
berfikir ilmu ekonomi modern. Tetap ini tidak berarti bahwa ”resep – resepnya”
begitu saja dapat diterapkan di mana - mana laksana obat mujarab yang
menyembuhkan segala penyakit. Karena situasi yang dipersoalkan Keynes lain dari situasi di Indonesia.
Situasi yang semula dihadapi Keynes adalah keadaan depresi di Eropa dan
Amerika. Di sana pabrik – pabrik sudah ada, tenaga kerja yang ahli ada,
prasarana produksi seperti jalan dan jalur komunikasi ada, bank – bank juga ada
– Cuma semuanya macet karena kekurangan
perintaan efektif. Maka tindakan pemerintah untuk menambah efektif demand –
seperti yang disarankan Keynes – dapat segera berhasil meningkatkan produksi
tanpa bahaya menimbulkan inflasi.
Situasi demikian itu tidak boleh disamakan dengan situasi di Indonesia dan
negara – negara berkembang lainnya. Produksio kita masih rendah, tidak hanya /
terutama karena kekurangan permintaan masyarakat (segi demand) melainkan karena
kelemahan struktural (segi supply): kurang keahlian, kurang orasarana, kurang
industri dsb. Demikian pula sifat pengangguran berbeda: pengangguran di
Indonesia tidak pertama – tama bersifat “konjungtural” (karena
kekurangan/fluktuasi dalam permintaan efektif) melainkan “struktural” (karena
memang kekurangan kesempatan kerja). Situasi demikian ini tidak bisa ditangani
dengan cara “asal menambah permintaan efektif” saja. Sebab setiap tambahan
permintaab efektif (entah dari keuangan negara, dari ekspor atau dari ekspansi
kredit bank) segara mengandung bahaya kenaikan harga: tidak karena pertambahan
produksi (output) tertinggal / kalah cepat dengan penambahan demand itu, atau
karena adanya bottlenecks di sektor produksi.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam
makalah ini, yang berjudul “Dampak Inflasi dan Resesi pada Perekonomian Indonesia ” kita dapat membedakan
pengertian dari Resesi dan Inflasi. Resesi adalah kegiatan ekonomi itu seret,
produksi merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil
produksi kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi
yang ada. Dan, kalau kemerosotan itu sudah cukup parah, disebut depresi.
Sedangkan Inflasi, yaitu kalau
perekonomian nasional “mau lari terlalu cepat” sehingga kapasitas produksi
tidak dapat melayani permintaan masyarakat dan harga – harga naik; ibaratnya
seperi penderita tekanan darah.
Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia ádalah:
·
Harga
minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan cenderung turun
·
Banyak
komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena.
Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi, tapioka, rotan, bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam
harganya. Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan
menurun sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor
barang industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena
proteksionisme di luar negeri.
Jenis – jenis Inflasi :
·
Inflasi
yang disebabkan karena kelebihan permintaan efektif
·
Inflasi
yang disebabkan karena kenaikan biaya produksi
·
Inflasi
karena ketularan dari luar negeri
DAFTAR PUSTAKA
Sukirno, Sadono. “Masalah – masalah Pokok Makroekonomi:
Pengangguran, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi” dalam Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta :
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Bima Grafika, 1981,
hlm. 165-178.
Winardi. “Masalah
Inflasi” dalam Pengantar Ilmu Ekonomi
Teoretika Modern, jilid 1. Bandung: Trasito, 1985, hlm. 208-460.
Poli, Carla, Dra. “Inflasi
dan Resesi” dalam Pengantar Ilmu Ekonomi
I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1992, hlm. 267
Tidak ada komentar:
Posting Komentar