Kamis, 12 April 2012

DAMPAK INFLASI dan RESESI PADA PEREKONOMIAN INDONESIA


BAB I


PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Dari angka – angka pendapatan nasiolal Indonesia dapat di lihat dengan jelas bahwa sejak tahun 1968 perekonomian kita mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Tapi dari angka – angka yang ada, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, menjadi nyata pula bahwa perkembangan tersebut tidak selalu kontinu atau stabil. Sering kali dunia ekonomi “mau lari terlalu cepat”, sehingga harga – harga naik dan terjadi inflasi. Tetapi sering juga kegiatan ekonomi justru kurang sejalan dengan kebutuhan atau mengalami kemunduran, bahkan kemacetan, dan orang bicara tentang stagnasi atau resesi.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat, tetapi sekaligus menjaga kestabilan ekonomi, pemerinyah yang bertugas mengendalikan serta mengarahkan kegiatan ekonomi nasional menuju cita – cita bangsa kita: pertumbuhan – pertumbuhan, kestabilan, dan pemerataan. Untuk itu senjata di tangan pemerintah adalah economic policy, yaitu kebijakan pemerintah, baik melalui pengaturan keuangan Negara.

Bila kita mempelajari sejarah perkembangan ekonomi di berbagai Negara, segera akan kelihatan bahwa kegiatan ekonomi modern jarang dalam keadaan stabil untuk jangka waktu yang agak lama. Ada masa – masa di mana kegiatan ekonomi berkembang dengan cepatnya, di mana produksi bertambah, pendapatan masyarakat naik dan mencari pekerjaan mudah. Tetapi masa – masa di mana semuanya terasa macet; produksi merosot, pendapatan masyarakat berkurang dan pengangguran bertambah.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Inflasi dan Resesi
2.      Apa itu Konjungtur
3.      Akibat Resesi di Indonesia
4.      Jenis – jenis Inflasi
5.      Penyebab terjadinya Inflasi
6.      Masalah Inflasi yang ditinjau dari segi Permintaan

C.    Tujuan Masalah

1.      Menjelaskan pengertian Inflasi dan Resesi
2.      Menjelaskan Konjungtur
3.      Menjelaskan akibat – akibat resesi di Indonesia
4.      Mengetahui jenis – jenis Inflasi
5.      Mengetahui penyebab terjadinya Inflasi
6.      Menjelaskan masalah – masalah Inflasi dari segi Permintaan
BAB II

ISI

1.      Resesi dan Inflasi

Apasih Resesi dan Inflasi itu?
Dikatakan Resesi (kelesuan) apabila; kegiatan ekonomi itu seret, produksi merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil produksi kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada. Dan, kalau kemerosotan itu sudah cukup parah, disebut depresi. Sedangkan Inflasi, yaitu kalau perekonomian nasional “mau lari terlalu cepat” sehingga kapasitas produksi tidak dapat melayani permintaan masyarakat dan harga – harga naik; ibaratnya seperi penderita tekanan darah.

            Kedua masalah itu dapat ditangani dengan kebijakan ekonoi yang tepat. Tetapi, dewasa ini kedua masalah itu suka muncul bersamaan, sehingga orang bicara tentang stagflasi (stagnasi + inflasi). Dalam hal ini menjadi lebih sulit untuk mengatasinya, karena usaha menangani masalah yang satu, justru memunculkan masalah yang lain. Maka diperlukan kebijakan ekonomi yang dapat mengatasi resesi tanpa menimbulkan inflasi, dan sekaligus menjaga jangan sampai usaha mengendalikan inflasi mematikan laju pertumbuhan ekonomi yang sehat dan seimbang.

2.      Konjungtor

Dalam pertumbuhan perekonomian suatu bangsa maupun perekonomian dunia masa – masa kemajuan / pertumbuhan silih berganti dengan masa – masa kemunduran / kemerosotan. Dalam ekonomi, pasang surutnya kegiatan ekonomi ini disebut gelombang konjungtor (business fluctuations atau business cycles). Pada tahun 1930-an, para ahli ekonomi mulai mempelajari gejala naik turunnya kegiatan ekonomi tersebut, dan mencari jalan bagaimana dapat diatasi atau tidak diredakan.

·         GELOMBANG KONJUNGTOR
Kegiatan ekonomi tidak stabil atau kontinu melainkan bergelombang (lihat Gambar 1). Pasang – surutnya kegiatan ekonomi nasional secara keseluruhan ini disebut gelombang konjuntor. Istilah gelombang menunjukkan gejala naik – turunnya kegiatan ekonomi (produksi, perdagangan, investasi, konsumsi, jumlah uang/kredit, tingkat harga, kesempatan kerja, volume ekspor – impor, dsb) secara berulang – ulang dengan suatu urutan atau pola tertentu.



Menurut hasil penelitian para ahli statistik ekonomi, kebanyakan gelombang konjungtur berlangsung sekitar 3 – 4 tahun. Tetapi para ahli menunjukan pula bahwa ada gelombang yang berlangsung lama: sampai sekitar 8 – 10 tahun, bahkan ada yang 15 – 15 tahun. Setiap gelombang mempunyai ciri – cirinya sendiri: tak ada dua gelombang konjungtur yang tepat sama. Namun semua gelombang menunjukkan suatu pola dasar yang sama. Satu gelombang (satu cycle) biasanya dibagi dalam empat tahap:

1)      Tahap ekspansi (prosperity), yaitu tahap kegiatan ekonomi dalam perkembangan / pertumbuhan yang cepat sampai tercapai puncak kegiatan (sering juga disebut masa “boom” atau “hausse”). Tetapi setelah beberapa waktu mulai timbul kemacetan – kemacetan dan hambatan – hambatan, yang akhirnya menyebabkan situasi berubah / berbalik menjadi kemunduran. Titik balik (atas) disebut krisis.

2)      Resesi atau kelesuan. Semula kemacetan – kemacetan yang timbul menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi terhenti (stagnasi) dan /atau mundur sedikit. Kalau kelesuan itu berlangsung lama dan hebat, di mana semua sektpr ekonomi ikut ketularan, kelesuan menjadi kemerosotan.

3)      Depresi atau kemerosotan, di mana produksi berkurang, banyak pabrik ditutup dan banyak terjadi pengangguran. Keadaan ini juga disebut baisse atau “konjungtur rendah”. Tetapi akhirnya keadaan berubah lagi (titik balik bawah), dan mulailah tahap berikut:

4)      Pemilihan (revival atau recovery), kalau kegiatan ekonomi nasional mulai normal kembali
 a.      Ekspansi = Kegiatan Ekonomi Cepat

Karena dorongan dari salah satu “strater”, kegiatan ekonomi meningkat.para produsen bekerja dengan kapasitas penuh dan usahanya. Tingkat investasi tinggi dan banyak pengusaha yang minat kredit bank. Jumlah uang dan kredit bertambah, dan kurs saham di bursa mulai naik. Pandangan dunia bisnis menjadi optimis sekali. Tingkat upah/gaji mulai ikut naik tetapi tidak secepat kenaikkan laba. Ini yang disebut konjungtor tinggi (hausse).
Tetapi lama – kelamaan mulai timbul ketegangan – ketegangan. Kredit bank pada suatu saat harus dilunasi; tingkat harga mulai naik dan harga dasar naik (berarti biaya produksi naik pula). Tingkat harga yang tinggi menyebabkan upah – gaji harus dinaikkan pula. Ekspansi terhenti supply menyebabkan harga cenderung turun sedsngkan biaya produksi meningkat.

b.      Resesi = Kelesuan

Kegiatan ekonomi mulai mundur, setidak – tidaknya sudah tidak mundur. Ada perusahaan yang macet/rugi, terutama di sektor industri dasar. Penjualan tidak bertambah lagi atau bahkan berkurang. Kurs saham di bursa mulai turun. Harga beberapa jenis barang mulai merosot. Kenaikkan biaya produksi sudah tidak diimbangi oleh kenaikkan jumlah penjualan. Kredit – kredit bank harus dilunasi dan pinjaman baru tidak dilayani. Kegiatan ekonomi mulai mundur, dan pandangan para pengusaha mulai suram” (pesimis) terutama harapan untuk mendapatkan laba. Pendapatan nasional tidak bertambah lagi, bahkan merosot beberapa persen.

c.       Depresi = Kemerosotan

Kegiatan ekonomi semakin merosot (lebih daripada beberapa persen saja). Banyak perusahaan tutup karena rugi, dan pengangguran bertambah. Karena pendapatan masyarakat berkurang, permintaan masyarakat sedikit, sehingga penjualan hanya sedikit. Harga barang merosot, dan pandangan para pengusaha menjadi pesimis sekali. Ini yang disebut konjungtur rendah atau baisse.

d.      Recovery atau Pemulihan

Lama – kelamaan persediaan barang mulai menipis, sehingga ada dorongan untuk menghidupkan kembali kegiatan produksi. Dengan demikian pengangguran berkurang. Juga mulai ada investasi lagi untuk menggantikan alat – alat produksi yang usut/aus. Penjualan mulai bertambah lagi, dan harga – harga naik sedikit. Pandangan dunia bisnis menjadi lebih optimis lagi, dan ada lagi pengusaha yang mulai dengan usaha – usaha baru. Kehidupan ekonomi mulai normal kembali.

3.      Akibat Resesi

Gejala kongjuntur terutama dirasakan di negara – negara industri yang menganut sistem ekonoi bebas atau mixed. Ini disebabkan karena reaksi dunia bisnis lebih cepat dan sensitif, sedangkan permintaan masyarakatlebih elastis. Tetapi, Indonesia juga merasakan akibat – akibatnya, apabila di luar negeri terjadi resesi. Misalnya, pada tahun 1979-1980 perekonomian dunia mengalami resesi yang melalui impor – ekspor, jelas ini mempengaruhi situasi ekonomi dalam negeri.

Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia hádala:

·   Harga minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan cenderung turun

·   Banyak komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi, tapioka, rotan,  bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya. Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di luar negeri.
( keadaan kronologi sejak 1983 )

Resesi duia masih berkelanjutan, baik di Amerika maupun Eropa dan Jepang. Akibat permintaan akan barang – barang ekspor Indonesia tidak meningkat, bahkan merosot.

·   Tingkat bunga di Amerika tinggi. Akibatnya dolar lari ke Amerika; kedudukan $ meningkat dibandingkan dengan rupiah (Rp). Disamping menimbulkan spekulasi terhadap kemungkinan devaluasi rupiah, ekspor Indonesia menjadi lebih berat bersaing di pasar luar negeri.

·   Merosotnya harga minyak merupakan pukulan berat bagi perekonomian Indonesia – dana untuk pembangunan, yang dulu diabil dari penerimaan migas, sangat merosot.

·   Ekspor nonmigas juga terpukul, tidak meningkat seperti di harapkan – belum bisa untuk mengimbangi kerugian dari kemerosotan harga minyak.

·   Cabang – cabang industri dalam negeri yang terpukul antara lain tekstil, otomotif, elektronika, bangunan/konstruksi.

4.      Inflasi

Inflasi dalam arti “kenaikan harga umum” rupa – rupanya sudah menjadi gejala yang biasa dalam masyarakat modern. Sejak dulu gejala inflasi dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar.
Sejak dulu gejala inflasi dihubungkan dengan jumlah uang yang beredar. Kalau jumlah uang (M) bertambah (cateris paribus) jadi V konstan dan T juga konstan, maka harga – harga (P) akan naik. Tetapi mengapa M akan naik? Lagi pula masih ada pertanyaan, apakah sudah pasti harga – harga naik sebagai akibat adanya pertambahan M. Atau mungkin sebaliknya: oleh karena itu, harga – harga sudah naik (karena sebab lain), maka jumlah uang atau M harus disesuaikan. Jadi, bukan kenaikan M yang menyebabkan kenaikan P, tetapi sebaliknya kenaikan P menyebabkan kenaikan M.

·   Terganggunya Keseimbangan Arus Uang dan Arus Barang

Untuk lebih mengerti masalah inflasi yang sangat aktual ini, kita berpangkal dari pengertian keseimbangan antara arus barang dan arus uang. 
Kalau semuanya itu berjalan dengan lancar dan ada kecocokan maka keadaan ekonomi nasional di katakan dalam keadaan seimbang:

Ø      Produksi berjalan lancar dan melayani kebutuhan/permintaan masyarakat, sambil memberikan kesempatan kerja

Ø      Hasil produksi terjual sama dengan apa yang di beli oleh masyarakat (tak terlalu banyak dan tak terlalu sedikit ) dengan harga yang tidak terlalu mahal/murah

Ø      Jumlah uang beredar tepat cukup untuk melayani kebutuhan ekonomi

Ø      Tanda kecocokan yang jelas: harga – harga stabil

Kenyataan harga – harga tidak selalu stabil: mungkin terjadi inflasi, mungkin juga resesi, bahkan bisa jadi stagnasi. Ketidakstabilan harga – harga ini merupakan suatu tanda bahwa tidak ada kecocokan antara arus barang dan arus uang, antara produksi dan pembelanjaan masyarakat, antara supply dan demand.
Tergantungnya keseimbangan antara arus uang dan arus barang ini dapat berasal dari tiga segi:

Ø      Segi produksi atau arus barang (segi suply). Misalnya: karena panen gagal, ada ham/banjir/bencana alam, kemacetan transportasi, perubahan teknik produksi dsb. Segi permintaan (demand): kelebihan (atau kekurangan) permintaan masyarakat, misalnya karena adanya perubahan selera konsumen atau mode (C), perubahan tingkat investasi akibat perkembangan teknologi (I), defisit APBN (G), ekspor lebih besar (atau lebih kecil) dari impor (Xn), atau pandangan para pengusaha yang optimis (atau pesimis). Ini semua mempengaruhi permintaan dan pembelanjaan masyarakat (terutama tingkat I dan G).

Ø      Segi harga. Misalnya, karena kenaikkan PGPS yang disusul oleh kenaikan harga dan upah. Mungkin juga karena kenaikan harga bahan, misalnya karena OPEC menaikkan harga minyak tanah atau karena kenaikan/penurunan harga barang impor. Bisa juga karena perubahan kurs valuta asing (seperti perubahan kurs dolar), yang ikut mempengaruhi harga semua barang impor.

Ø      Segi uang. Misalnya, karena ekspansi jumlah uang dan kredit oleh dunia perbankan lebih cepat dari yang dapat direncanakan oleh masyarakat.

Tabel 1.1 : Perbandingan antara laju Inflasi dan laju Pertambahan Jumlah Uang yang Beredar (1976 – 1979)

Tahun
Laju Inflasi
(% pada akhir tahun)
Laju Pertambahan
Jumlah Uang
(% kenaikan)
1966
650
-
1967
113
134
1968
85
121,1
1969
9,9
61,0
1970
8,9
36,5
1971
2,5
28,2
1972
25,8
47,9
1973
27,3
41,0
1974
33,3
40,1
1975
19,7
33,3
1976
14,2
28,2
1977
11,8
25,2
1978
6,7
24,0
1979
21,7
35,8

Tabel menunjukkan perbandingan antara laju inflasi dan laju pertambahan jumlah unag beredar. Dari angka – angka ini dapat dilihat adanya sekadar kesejajaran. Tetapi tidak jelas adanya hubungan kasual (sebab-akibat) antara kenaikan M dan kenaikan P. Menurut keterangan Bank Indonesia, jumlah uang beredar setiap tahun disesuaikan dengan perkembangan perekonomian kita. Dengan semakin meluasnya pemakaian uang dalam masyarakat, jumlah uang beredear dapat ditambah dengan persen tertentu tanpa menimbulkan bahaya inflasi.

·   Jenis – jenis Inflasi

Atas dasar keterangan di atas (serta teori – teori yang mencoba menjelaskan terjadinya gangguan keseimbangan tersebut) dewasa ini dibedakan paling sedikit tiga sumber inflasi, dan demikian juga tiga jenis inflasi:

1)      Inflasi yang disebabkan karena kelebihan permintaan efektif: pembelanjaan masyarakat (C + I + G + Xn) terlalu besar (atau naik terlalu cepat), sehingga tidak dapat dilayani oleh kapasitas produksi. Inflasi yang timbul karena kelebihan permintaan masyarakat ini disebut demand-pull inflation. Masyarakat konsumen, para produsen, pemerintah, dan luar negeri bersama – sama mau membeli lebih banyak barang dan jasa dari yang dapat disediakan oleh kapasitas produksi yang ada. Karena permintaan yang berlebih itu, keseimbangan antara supply dan demand terganggu, sehingga harga – harga naik. Permintaan masyarakat ini di dukung oleh dunia perbankan, tetapi dapat juga dari uang tabungan yang ”diaktifkan kembali” tanpa adanya tambahan uang oleh duni bank.

2)      Inflasi yang disebabkan karena kenaikan biaya produksi. Jenis inflasi ini disebut cost-push infaltion. Kenaikkan biaya produksi mendorong harga ke atas. Jenis inflasi ini dibedakan atas:

·         Inflasi karena kenaikan harga bahan baku, misalnya minyak tanah

·         Inflasi karena kenaikan gaji/upah. Misalnya: karena kenaikan gaji pegawai negeri, yang diikuti oleh usaha – usaha swasta pula, maka harga – harga lainnya ikut naik.

Jenis inflasi ini merupakan jenis yang paling ditakuti, karena menimbulkan “spiral upah-harga”: karena upah naik, harga naik, dan karena harga naik, upah harus dinaikkan; demikian seterusnya.

3)      Inflasi karena ketularan dari luar negeri. Jenis inflasi ini banyak dialami oleh negara – negara sedang berkembang yang sebagian besar dari usaha produksinya di semua sektor mempergunakan bahan dan alat dari luar negeri. Misalnya: inflasi yang ada di Jepang terpaksa diimpor ke Indonesia, karena harga bahan cat, bahan foto, kendaraan dan bahan apa saja yang berasal dari sana menggendong inflasi itu. Jenis inflasi ini dapat disebut imported inflation (meskipun dapat juga disolongkan pada jenis kedua di atas tadi)
Repotnya dengan inflasi ialah, bahwa ketiga jenis inflasi tersebut biasanya saling mendorong dan saling memperkuat. Sekali orang menyadari adanya inflasi, mereka akan bertindak sedemikian rupa hingga justru memperkuat inflasi yang sudah ada.

·         Karena harga – harga naik, para pedagang cenderung menyimpan barangnya menunggu sampai harga naik lebih tinggi lagi. Ini menyebabkan peredaran barang berkurang sehingga barang – barang naik.

·         Karena harga – harga naik, para pengusaha akan mengikuti gerakan harga dan berusaha mempertahankan/meningkatkan pendapatan dan labanya dengan menaikkan harga jualnya.
·         Karena harga – harga naik, masyarakat cenderung segera membeli barang (sebelum harga naik lagi), sehingga permintaan akan barang naik dan harga – harga justru akan naik lagi.

·         Karena kaitan antara barang yang satu dengan yang lain, kenaikan harga barang yang satu akan mendorong harga barang – barang lain ke atas pula.

5.      Penyebab terjadinya Inflasi

Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa inflasi yang lunak dapat merangsang bisnis sektor untuk memperluas produksinya, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja. Namun, kalau tidak hati – hati inflasi yang lunak pun dapat berubah menjadi inflasi yang lebih hebat. Dalam inflasi, masyarakat cenderung enggan menabung, dan juga enggan pegas uang kas/tunai, sebab nilai riil uang terus merosot. Masyarakat cenderung lebih suka menyimpang kekayaan dalam bentuk barang. Keadaan demikian akan mendorong timbulnya spekulasi perdagangan dan dapat menciptakan inflasi yang jauh lebih hebat (hyper inflation). Selain itu dalam inflasi terjadi kenaukkan harga – harga umum, namun kenaikan harga itu tidak selalu searah dengan intensitas yang sama – adanya kenaikan harga umum juga akan menyebabkan harga barang ekspor menjadi mahal, sehingga barang ekspor akan menjadi sulit bersaing di pasar Internasional-inflasi akan menyebabkan nilai riil setiap satuan uang merosot, sehingga mereka yang berpendapatan tetap (nilai nominalnya), daya belinya terus merosot. Demikian pula mereka yam\ng meminjamkan uang akan sangat dirugikan. Sebab pada saat jatuh tempo mereka akan menerima uang uang mereka dengan nilai riil lebih rendah – dalam inflasi kenaikan harga barang berjalan dengan intensitas yang sama akan menguntungkan pihak – pihak yang memiliki faktor produksi ataupun barang dan jasa yang mengalami intensitas kenaikkan paling tinggi. Sebab, mereka akan menikmati capital gain (keuntungan yang didapat karena adanya kenaikkan harga) yang paling tinggi. Dalam keadaan inflasi mereka yang mempunyai kekayaan lebih banyak jauh lebih bisa bertahan dari mereka yang miskin. Orang mengatakan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin (secara relatif paling tidak). Dengan demikian inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan di antara masyarakat dan menjauhkan tercapainya keadilan yang dicita – citakan.

6.      Masalah Inflasi yang Ditinjau dari Segi Permintaan

Dalam konfrontasi antara apa/berapa yang ingin dicapai (segi demand) dan apa/berapa yang dapat dihasilkan (segi supply) dalam teori Keynes pada dasarnya ada tiga kemungkinan:

a.       Permintaan masyarakat tepat sesuai dengan kapasitas produksi, sehingga seluruh tebaga kerja dipekerjakan: tak ada pengangguran dan juga tak ada inflasi. Ini keadaan seimbang yang dicita – citakan.

b.      Permintaan masyarakat kurang dari yang diperlukan untuk mempekerjakan seluruh faktor produksi. Dalam situasi ini akan ada pengangguran.
c.       Permintaan masyarakat lebih besar daripada yang dapat dilayani dengan kapasitas produksi yang ada. Dalam hal ini akan terjadi inflasi.

6.1  Kekurangan Permintaan Efektif

Apabila permintaan masyarakat akan suatu barang dan jasa (C + I + G +Xn) kurang dari potensi GNP, sehingga hasil produksi tidak laku terjual, para produsen akan menderita rugi dan cenderung memperkecil produksinya, mungkin dengan melepaskan tenaga kerja yang tidak dibutuhkan lagi. Alhasil produksi nasional sesuai (disesuaikan!!) dengan permintaan masyarakat, sehingga memang ada suatu “keseimbangan” antara permintaan dan penawaran, tetapi bukan keseimbangan yang “baik” karena ada pengangguran. Karena permintaan masyarakat terlalu kecil dibandingkan dengan kapasitas, maka hasil produksi juga kurang dari yang sebenarnya dapat dihasilkan (dengan istilah teknis: actual GNP kurang dari potential GNP) dengan terpaksa masih ada faktor produksi (tenaga kerja manusia) yang menganggur, tidak karena adanya kesulitan pada pihak produsen, melainkan karena kekurangn permintaan masyarakat.

6.2  Kelebihan Permintaan Efektif

Dewasa ini situasi kerap kali lain: bukan kekurangan melainkan kelebihan permintaan efektif. Para konsumen, produsen, pemerintah, dan luar negeri bersama – sama mau membeli lebih banyak dari yang dapat dihasilkan dengan kapasitas produksi yang ada. (Dengan istilah teknis: permintaan efektif lebih besar dari potential GNP). Ini yang menyebabkan ketegangan – ketegangan dipasaran, sehingga harga – harga naik. Karena produksi tak bisa naik (dibatasi oleh kapasitas produksi), akibatnya adalah inflasi. Dalam keadaan demikian tidak ada pengangguran, tetapi juga tidak ada ekuilibrium antara supply dan demand.

6.3  Menjaga Keseimbangan

Untuk menjaga keseimbangan yang “baik” dan stabil, tanpa inflasi dan tanpa pengangguran, seninya adalah bagaimana mengatur permintaan masyarakat sedemikian rupa sehingga tepat sesuai dengan kapasitas produksi, tidak kekurangan dan tidak berlebihan.
Selama effective demand kurang dari potential GNP, pembelanjaan masyarakat harus ditambah, tetapi apabila effective demand lebih besar dari potential GNP, pembelanjaan total harus diperkecil. Ini mudah dikatakan, tetapi pelaksanaannya amat sulit, sebab kapasitas produksi nasional (dan demikian pula potential GNP) juga selalu berubah – ubah.

6.4  Keseibangan Moneter

Sampai sekarang peranan uang/kredit belum ditonjolkan. Memang cara berfikir Keysian lebih memperhatikan apa yang terjadi dengan produksi dan konsumsi, investasi dan kesempatan kerja, tanpa banyak mempersoalkan dari mana para produsen mendapatkan uang/kredit untuk membiayai rencana – rencana investasinya. Uang atau kredit yang diperlakukan untuk itu tentu akan disediakn oleh dunia perbankan sesuai dengan kebutuhan.
Para ahli mengemukakan pengertian “Keseimbangan Moneter”, yaitu keseimbangan antara permintaan uang/kredit (oleh masyarakat) dan penawaran uang (oleh dunia perbankan) sedemikian rupa hingga jumlah uang beredar (money supply) tepat cukup untuk melayani permintaan efektif masyarakat.selanjutnya permintaan efektif masyarakat harus tepat cocok dengan kapasitas produksi, tanpa inflasi atau pengangguran (ekuilbrium pembelanjaan).

6.5  Keadaan Perekonomian Indonesia

Buku karangan Keynes mempunyai pengaruh mendalam terhadap seluruh cara berfikir ilmu ekonomi modern. Tetap ini tidak berarti bahwa ”resep – resepnya” begitu saja dapat diterapkan di mana - mana laksana obat mujarab yang menyembuhkan segala penyakit. Karena situasi yang dipersoalkan Keynes lain dari situasi di Indonesia.
Situasi yang semula dihadapi Keynes adalah keadaan depresi di Eropa dan Amerika. Di sana pabrik – pabrik sudah ada, tenaga kerja yang ahli ada, prasarana produksi seperti jalan dan jalur komunikasi ada, bank – bank juga ada – Cuma  semuanya macet karena kekurangan perintaan efektif. Maka tindakan pemerintah untuk menambah efektif demand – seperti yang disarankan Keynes – dapat segera berhasil meningkatkan produksi tanpa bahaya menimbulkan inflasi.
Situasi demikian itu tidak boleh disamakan dengan situasi di Indonesia dan negara – negara berkembang lainnya. Produksio kita masih rendah, tidak hanya / terutama karena kekurangan permintaan masyarakat (segi demand) melainkan karena kelemahan struktural (segi supply): kurang keahlian, kurang orasarana, kurang industri dsb. Demikian pula sifat pengangguran berbeda: pengangguran di Indonesia tidak pertama – tama bersifat “konjungtural” (karena kekurangan/fluktuasi dalam permintaan efektif) melainkan “struktural” (karena memang kekurangan kesempatan kerja). Situasi demikian ini tidak bisa ditangani dengan cara “asal menambah permintaan efektif” saja. Sebab setiap tambahan permintaab efektif (entah dari keuangan negara, dari ekspor atau dari ekspansi kredit bank) segara mengandung bahaya kenaikan harga: tidak karena pertambahan produksi (output) tertinggal / kalah cepat dengan penambahan demand itu, atau karena adanya bottlenecks di sektor produksi.
BAB III

KESIMPULAN


            Dalam makalah ini, yang berjudul “Dampak Inflasi dan Resesi pada  Perekonomian Indonesia” kita dapat membedakan pengertian dari Resesi dan Inflasi. Resesi adalah kegiatan ekonomi itu seret, produksi merosot dan banyak pengangguran, perekonomian yang lesu, dan hasil produksi kurang dari yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada. Dan, kalau kemerosotan itu sudah cukup parah, disebut depresi. Sedangkan Inflasi, yaitu kalau perekonomian nasional “mau lari terlalu cepat” sehingga kapasitas produksi tidak dapat melayani permintaan masyarakat dan harga – harga naik; ibaratnya seperi penderita tekanan darah.

            Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia ádalah:

·         Harga minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan cenderung turun

·         Banyak komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi, tapioka, rotan,  bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya. Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di luar negeri.

            Jenis – jenis Inflasi :

·         Inflasi yang disebabkan karena kelebihan permintaan efektif

·         Inflasi yang disebabkan karena kenaikan biaya produksi

·         Inflasi karena ketularan dari luar negeri
  

DAFTAR PUSTAKA

Sukirno, Sadono. “Masalah – masalah Pokok Makroekonomi: Pengangguran, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi” dalam Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Bima Grafika, 1981, hlm. 165-178.

Winardi. “Masalah Inflasi” dalam Pengantar Ilmu Ekonomi Teoretika Modern, jilid 1. Bandung: Trasito, 1985, hlm. 208-460.

Poli, Carla, Dra. “Inflasi dan Resesi” dalam Pengantar Ilmu Ekonomi I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1992, hlm. 267


Tidak ada komentar:

Posting Komentar